Jumat, 17 Mei 2013

HUKUM PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA



I.              PENDAHULUAN
Perkembangan  Bank  Syariah         di Indonesia dewasa ini berjalan dengan sangat   pesat.    Walaupun   demikian, jumlah bank,  jumlah kantor  bank  dan jumlah  total  aset  Bank Syariah  masih sangat kecil apabila dibandingkan dengan   bank   konvensional.  Banyak faktor yang  akan mempengaruhi percepatan perkembangan perbankan syariah di masa yang akan datang.  Salah satu faktor yang sangat penting  adalah  faktor   hukum.  Arah perkembangan perbankan  syariah  di masa  yang  akan  datang masih  akan sangat signifikan dipengaruhi oleh perkembangan infrastruktur hukum perbankan syariah di Indonesia.

II.           PEMBAHASAN
A.    Pengertian Bank Syariah
Dalam kerangka ekonomi umat Islam, istilah bank memiliki konsep tersendiri, yakni bank Syariah, yang beroperasi di atas dasar ajaran (syariah) Islam, yang memiliki prinsip operasional berbeda dengan prinsip operasional bank konvensional (convensional bank). Menurut Karnaen A. Perwataatmadja dan Syafi'i Antonio, bank Syariah memiliki dua pengertian, yaitu:
1.    Bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip syariah Islam;
2.    Bank yang tata cara beroperasinya mengacu kepada ketentuan-ketentuan al-Qur'an dan al-Hadits.[1]
Dalam pengertian lain disebutkan bahwa yang dimaksud dengan bank Syariah adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa-jasa lain dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang operasionalnya disesuaikan dengan prinsip syariah Islam. Dalam pengertian ini, usaha bank akan selalu dikaitkan dengan masalah uang yang merupakan barang dagangan utama.[2]
Selain itu, banyak juga orang yang terjebak ke dalam pengertian bahwa bank Syariah itu sama dengan bank tanpa bunga (Zero interest = bunga nol). Pengertian ini memang tidak terlalu salah, karena bank Syariah tidak mengenal bunga. Namun pengertian bank Syariah tidak hanya mesti sampai di situ, tetapi ia harus dipahami secara komprehensif dan universal. Pemahaman tentang bank Syariah tidak hanya dilihat dari aspek praktis operasional, tetapi harus pula dilihat dari perspektif ekonomi makro ke-Islamannya.[3]
Berdasarkan keterangan di atas ada pula yang merumuskan bank Syariah sebagai suatu lembaga keuangan yang fungsi utamanya menghimpun dana untuk disalurkan kepada orang atau lembaga yang membutuhkannya dengan sistem tanpa bunga.[4] Dengan singkat, Muhammad merumuskan, Bank Syariah adalah bank yang beroperasi dengan tidak mengandalkan pada bunga. Bank Islam (Syariah) atau biasa disebut dengan Bank tanpa bunga adalah lembaga keuangan/perbankan yang operasional dan produknya dikembangkan berlandaskan pada Al-Qur’an dan Hadits Nabi SAW. Dengan kata lain, Bank Islam (Syariah) adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan pembiayaan dan jasa-jasa lainnya dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang pengoperasiannya disesuaikan dengan prinsip syariat Islam.[5] 
B.     Sejarah Bank Syariah di Indonesia
Perbankan Islam sekarang ini telah dikenal secara luas di belahan dunia muslim dan Barat.[6] Berkembangnya bank-bank syariah di negara-negara Islam berpengaruh ke Indonesia. Pada awal periode 1980-an, diskusi mengenai bank syariah sebagai pilar ekonomi Islam mulai dilakukan. Para tokoh yang terlibat dalam kajian tersebut adalah Karnaen A Perwataatmadja, M.Dawam Rahardjo, AM. Saefuddin, M. Amien Azis, dan lain-lain.[7] Beberapa uji coba pada skala yang relatif terbatas telah diwujudkan. Di antaranya adalah Baitut Tamwil-Salman, Bandung, yang sempat tumbuh mengesankan. Di Jakarta juga dibentuk lembaga serupa dalam bentuk koperasi, yakni Koperasi Ridho Gusti.
Akan tetapi, prakarsa lebih khusus untuk mendirikan bank Islam di Indonesia baru dilakukan pada tahun 1990. Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tanggal 18-20 Agustus 1990 menyelenggarakan Lokakarya Bunga Bank dan Perbankan di Cisarua, Bogor, Jawa Barat. Hasil lokakarya tersebut dibahas lebih mendalam pada Musyawarah Nasional IV MUI yang berlangsung di Hotel Sahid Jaya Jakarta, 22-25 Agustus 1990. Berdasarkan amanat Munas IV MUI, dibentuk kelompok kerja untuk mendirikan bank Islam di Indonesia. Kelompok kerja yang disebut Tim Perbankan MUI, bertugas melakukan pendekatan dan konsultasi dengan semua pihak terkait.
Bank Muamalat Indonesia lahir sebagai hasil kerja Tim Perbankan MUI tersebut di atas. Akte Pendirian PT Bank Muamalat Indonesia ditandatangani pada tanggal 1 November 1991[8].
Pada awal pendirian Bank Muamalat Indonesia, keberadaan bank syariah ini belum mendapat perhatian yang optimal dalam tatanan industri perbankan nasional. Landasan hukum operasi bank yang menggunakan sistem syariah ini hanya dikategorikan sebagai '"bank dengan sistem bagi hasil; tidak terdapat rincian landasan hukum syariah serta jenis-jenis usaha yang diperbolehkan. Hal ini sangat jelas tercermin dari UU No. 7 Tahun 1992, di mana pembahasan perbankan dengan sistem bagi hasil diuraikan hanya sepintas lalu dan merupakan "sisipan" belaka.
Namun demikian, perkembangan perbankan syariah pada era reformasi ditandai dengan disetujuinya Undang-Undang No. 10 Tahun 1998. Dalam undang-undang tersebut diatur dengan rinci landasan hukum serta jenis-jenis usaha yang dapat dioperasikan dan diimplementasikan oleh bank syariah. Undang-undang tersebut juga memberikan arahan bagi bank-bank konvensional untuk membuka unit layanan syariah atau bahkan mengkonversi diri secara total menjadi bank syariah.
Peluang tersebut ternyata disambut antusias oleh masyarakat perbankan. Sejumlah bank mulai memberikan pelatihan dalam bidang perbankan syariah bagi para stafnya. Sebagian bank tersebut ingin menjajaki untuk membuka divisi atau cabang syariah dalam institusinya. Sebagian lainnya bahkan berencana mengkonversi diri sepenuhnya menjadi bank syariah. Hal demikian diantisipasi oleh Bank Indonesia dengan mengadakan “Pelatihan Perbankan Syariah" bagi para pejabat Bank Indonesia dari segenap bagian, terutama aparat yang berkaitan langsung seperti DPNP (Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan), kredit, pengawasan, akuntansi, riset, dan moneter.[9] Sebabnya masyarakat merespon positif terhadap munculnya bank syariah adalah karena tingkat  kehalalannya lebih terjamin. Bank syariah dalam operasionalnya tanpa bunga melainkan sistem bagi hasil. Sebab lainnya adalah karena bank konvensional tidak mampu bertahan di saat krisis ekonomi, bahkan bank konvensional turut andil atas keterpurukan ekonomi nasional.   
Kemudian Bank Syariah Mandiri (BSM), sebagai salah satu bank yang dimiliki oleh Bank Mandiri yang memiliki aset ratusan triliun dan networking yang sangat luas, BSM memiliki beberapa keunggulan komparatif dibanding pendahulunya. Demikian juga perkembangan politik terakhir di Aceh menjadi blessing in disguise bagi BSM. Hal ini karena Bank Mandiri akan menyerahkan seluruh cabangnya di Aceh kepada BSM untuk dikelola secara syariah. Langkah besar ini jelas akan menggelembungkan aset BSM dari posisi pada akhir tahun 1999 sejumlah Rp 400.000.000.000,00 (empat ratus miliar rupiah) menjadi di atas 2 hingga 3 triliun. Perkembangan ini diikuti pula dengan peningkatan jumlah cabang BSM, yaitu dari 8 menjadi lebih dari 20 buah.[10] Satu perkembangan lain perbankan syariah di Indonesia adalah diperbolehkannya konversi cabang bank umum konvensional menjadi cabang syariah, seperti unit BNI syariah, unit BRI syariah dan unit-unit lainnya.
Ketentuan tentang kegiatan usaha bank berdasarkan prinsip syariah dalam UU No.7 Tahun 1992 sangat terbatas, yakni hanya menyangkut kegiatan pembiayaan dan tidak diatur tentang penghimpunan dana. Maka diatur kembali dalam UU yang baru secara lebih jelas, lengkap, dan lebih eksplisit/baik yang menyangkut penghimpunan dana maupun penyediaan pembiayaan.
Dalam UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan terdapat beberapa perubahan yang memberikan peluang yang lebih besar bagi pengembangan perbankan syariah[11]. Dan sekarang telah disempurnakan UU. No.21 Tahun 2008 sebagai dasar pijakan bagi perbankan syariah.
C.    Perbedaan bank syariah dan bank konvesional


Tabel
Perbedaan Bank Syariah dan Bank Konvensional[12]

No
Perbedaan
Bank Syariah
Bank Konvensional
1
Falsafah
Tidak berdasarkan bunga, spekulasi, dan ketidak jelasan
Berdasarkan bunga
2
Operasionalisasi
-          Dana masyarakat berupa titipan dan investasi yang baru akan mendapatkan hasil jika diusahakan terlebih dahulu.
-          Penyaluran pada usaha yang halal dan menguntungkan.
-          Dana masyarakat berupa simpanan yang harus dibayar bunganya pada saat jatuh tempo.
-          Penyaluran pada sektor yang menguntungkan aspek halal tidak menjadi pertimbangan utama.
3
Aspek sosial
Dinyatakan secara eksplisit dan tegas yang tertuang dalam misi dan visi.
Tidak diketahui secara tegas.
4
Organisasi
Harus memiliki Dewan Pengawas Syariah
Tidak memiliki Dewan Pengawas Syariah





D.    Prinsip-pinsip Bank Syariah
Bank Islam (Syariah) dalam menjalankan usahanya mempunyai  prinsip operasional yang terdiri dari (1) sistem simpanan;  (2) bagi hasil; (3) margin keuntungan; (4) sewa; (5) fee  
(1)      Prinsip Simpanan Murni
Prinsip simpanan murni merupakan fasilitas yang diberikan oleh Bank Islam untuk memberikan kesempatan kepada pihak yang kelebihan dana untuk menyimpan dananya dalam bentuk Al Wadiah. Fasilitas Al Wadiah biasa diberikan untuk tujuan investasi guna mendapatkan keuntungan seperti halnya tabungan dan deposito. Dalam dunia perbankan konvensional al Wadiah identik dengan giro.
(2)      Bagi Hasil
Sistem ini adalah suafu sistem yang meliputi tata cara pembagian hasil usaha antara penyedia dana dengan pengelola dana. Pembagian hasil usaha ini dapat terjadi antara bank dengan peyimpan dana, maupun antara bank dengan nasabah penerima dana. Bentuk produk yang berdasarkan prinsip ini adalah Mudharabah dan Musyarakah. Lebih jauh prinsip Mudharabah dapat dipergunakan sebagai dasar baik untuk produk pendanaan (tabungan dan deposito) maupun pembiayaan, sementara musyarakah lebih banyak untuk pembiayaan.
(3)      Prinsip Jual Beli dan Margin Keuntungan
Prinsip ini merupakan suatu sistem yang menerapkan tata cara jual beli, dimana bank akan membeli terlebih dahulu barang yang dibutuhkan atau mengangkat nasabah sebagai agen bank melakukan pembelian barang atas nama bank, kemudian bank menjual barang tersebut kepada nasabah dengan harga sejumlah harga beli ditambah keuntungan (margin/mark-up).[13]
(4)      Prinsip Sewa
Prinsip ini secara garis besar terbagi kepada 2 jenis:
a.   Ijarah, sewa murni, seperti halnya penyewaan traktor dan alat- alat produk lainnya (operating lease). Dalam teknis perbankan, Bank dapat membeli dahulu equipment yang dibutuhkan nasabah kemudian mehyewakan dalam waktu dan hanya yang telah disepakati kepada nasabah.
b.  Bai al takjiri atau ijarah al muntahiya bit tamlik merupakan penggabungan sewa dan beli, dimana si penyewa mempunyai hak untuk memiliki barang pada akhir masa sewa (finansial lease).
(5)      Prinsip fee (Jasa)
Prinsip ini meliputi seluruh layanan non-pembiayaan yang diberikan bank. Bentuk produk yang berdasarkan prinsip ini antara lain Kliring, JasaTransfer, dll[14].
E.     Produk-Produk Bank Syariah
Produk perbankan syariah dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu; produk penyaluran dana, produk penghimpun dana dan produk yang berkaitan dengan jasa yang diberikan perbankan terhadap nasabahnya[15].
Dalam  Peraturan  Bank  Indonesia  No.7/46/PBI/2005  telah  menetapkan  syarat untuk berbagai produk perbankan syariah baik berupa penghimpunan dana maupun penyaluran dana.
Dibidang penghimpunan dana telah diatur simpanan yang bersifat titipan, yakni giro  wadiah,  dan  tabungan  wadiah  juga  simpanan  bersifat  investasi,  yakni  :  giro mudharabah, tabungan mudharabah dan deposito mudharabah[16].
Pada   bidang   penyaluran   dana,   Peraturan   Bank   Indonesia   dimaksud   telah mengatur dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 18 Peraturan Bank Indonesia No.7/46/PBI/2005 bahwa produk produk penyaluran dana dalam perbankan syariah yaitu   Mudharabah,   Musyarakah,   Murabahah,   Salam,   Istishna,   Ijarah   dan   Ijarah Muntahiyya Bit Tamlik serta Qardh[17].
Sebagai tindak lanjut dari Peraturan Bank Indonesia, sewa menyewa yang disebut juga        ijarah    diatur  lebih  lanjut      dalam  Surat  Keputusan         Direksi Bank  Indonesia No.32/34/KEP/DIR  tanggal  12  Mei  1999  tentang  Bank  Umum  Berdasarkan  Prinsip Syariah terutama  dalam pasal 28 yang menyebutkan bahwa bank  wajib menerapkan Prinsip Syariah dalam melakukan kegiatan usahanya dan telah disempurnakan dalam UU. No. 21 tahun 2008 tentang perbankan syariah yang usahanya meliputi:
1.      Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan yaitu:
a.      Giro berdasarkan prinsip wadi’ah[18]
b.      Tabungan berdasarkan prinsip wadi’ah atau mudharabah
c.      Deposito berjangka berdasarkan prinsip mudharabah
d.     Bentuk lain berdasarkan prinsip wadi’ah atau mudharabah
2.      Melakukan penyaluran dana melalui transaksi jual beli berdasarkan prinsip:
a.    Murabahah
b.   Salam
c.    Istishna
d.   Ijarah
e.    Jual beli lainnya
3.      Pembiayaan bagi hasil berdasarkan prinsip :
a.       Mudharabah
b.      Musyarakah
c.       Bagi hasil lainnya[19]
4.      Pembiayaan lainnya berdasarkan prinsip :
a.       Hiwalah
b.      Qard[20]
Jadi,  Prinsip  pembiayaan  dalam  bank  syariah  terbagi  menjadi  empat,  yaitu prinsip   jual   beli/bai,   prinsip   sewa/ijarah,   prinsip   bagi   hasil/syirkah,   dan   prinsip pelengkap.
Prinsip jual beli dan sewa memiliki karakteristik natural certainty contract, yang berarti  bawa  kontrak  dilakukan  dengan  menentukan  secara  pasti  nilai  nominal  dari keuntungan di awal kontrak perjanjian. Prinsip jual beli didasarkan pada transaksi riil (pembelian   barang   atau   jasa   dilakukan   oleh   bank   syariah   kemudian   nasabah mengangsur kepada bank syariah). Nasabah tidak akan secara langsung mendapatkan uang tunai dari bank syariah. Produk pembiayaan yang menggunakan prinsip jual beli adalah murabahah, salam, dan istishna.
Prinsip bagi hasil memiliki karakteristik natural uncertainty contract, yang berarti kontrak dilakukan tidak dengan menyepakati nominal keuntungan yang akan diterima melainkan  menyepakati  nisbah  bagi  hasil  yang  akan  diterima  sehingga  tidak  ada kepastian nilai nominal yang akan diterima karena tergantung pada keuntungan usaha. Prinsip ini mengharuskan pemanfaatan dana pada bank syariah menggunakan dana yang dimohon untuk  usaha produktif. Produk pembiayaan yang menggunakan prinsip bagi hasil adalah musyarakah dan mudharabah.
Prinsip pelengkap dalam bank syariah pada dasarnya adalah prinsip tabaru (kebaikan).  Jadi,   tidak   ada   keuntungan  yang  disepakati   pada   kontrak   perjanjian. Transaksi tidak bermotifkan keuntungan, tetapi diperbolehkan mengenakan biaya administrasi.
Jelaslah bahwa bank syariah dapat melakukan kegiatan untuk menerima penyimpanan dana, dan dapat menyalurkan pembiayaanya itu menyediakan sejumlah dana sebagaimana diuraikan lebihlanjut dalam PBI Nomor9/19/PBI/2007[21]. Dan kini telah diatur dengan jelas dalam UU. No. 21 tahun 2008 tentang perbankan syariah[22].
F.     Penyelesaian Sengketa di Bank Syarih
Dalam sejarah Islam, ketika terjadi beda pendapat atau sengketa antara para pihak baik dalam bidang keluarga maupun dalam bidang bisnis, maka lembaga yang dapat menyelesaikan sengketa tersebut adalah melalui mekanisme perdamaian (al-sulh), arbitrase (al-tahkim) dan pengadilan (al-qadha)[23]. 
Dalam pasal 55 UU. No. 21 Tahun 2008 dikatakan bahwa penyelesaian sengketa dalam perbankan syariah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkup Pengadilan Agama[24].
Hubungan bank dengan nasabah pada umumnya merupakan hubungan keperdataan. Jalinan hubungan tersebut, dalam praktiknya tidak selalu berjalan mulus, bisasaja timbul ketidak sepahaman atau sengketa diantara keduanya.  Dalam hal terjadi sengketa yang  menyangkut perbankan syariah, maka penyelesaian sengketa  tersebut  pada prinsipnya dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama  (Pasal 55), namun apabila para pihak telah memperjanjikan lain, penyelesaian sengketa  dilakukan sesuai dengan  isi perjanjian. Dengan demikian sengketa  perbankan syariah selain penyelesaiannya        dapat dilakukan melalui Peradilan Agama  (sesuai UU No.3Tahun 2006 tentang Perubahan Atas UU   No.7 Tahun 1989  tentang Peradilan Agama), bisa juga memilih penyelesaian sengketa melalui musyawarah, mediasi perbankan, Basyarnas,  atau peradilan  umum.   Namun, Undang- Undang mensyaratkan bahwa  penyelesaian sengketa diluar Peradilan Agaman tetap harus dilakukan dengan  berpedoman pada Prinsip Syariah[25].

III.        KESIMPULAN
Pada dasarnya pengaturan hukum kegiatan usaha bank  syariah diupayakan untuk diberlakukan secara  equal treatment regulationsatau       prinsip  kesetaraan  hukum. Namun demikian kadangkala terdapat   pengaturan   yang   bersifat khusus terhadap kegiatan usaha  bank syariah      yang  disesuaikan dengan karakter    usaha    bank   Syariah itu sendiri, karena memiliki perbedaan  yang  sangat mendasar  dibandingkan bank konvensional.
Pengembangan  praktik- praktik kegiatan ekonomi syariah akan lebih sejalan dan  saling mendukung  dengan  pengembangan infrastruktur hukum  perbankan syariah (ekonomi syariah). Karena hukum harus sedemikian rupa untuk mendorong perkembangan perbankan  syariah. UU. No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan  Syariah  diharapkan  dapat menjawab   sebagian   persoalan   dan keragu-raguan mengenai arah perkembangan  perbankan syariah  ke depan, termasuk arah perkembangan hukum  yang mengatur kegiatan perbankan syariah.


Daftar Pustaka

Antonio, Karnaen A. Perwataatmadja dan Syafi’i, Apa dan Bagaimana Bank Syariah (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1992).

Antonio, Muhamad Syafi’i, Bank Syariah dari Teori ke Praktek (Jakarta: Gema Insani Press, 2003).

Aziz,M. Amin, Mengembangkan Bank Islam di Indonesia, (Jakarta: Bankit, 1992).

Dahlan Abdul Aziz, dkk (Ed.), Ensiklopedi Hukum Islam (Jakarta: Ikhtiar Baru van Hoeve, 1997).

Djamil, Faturrahman, Penyelesaian Pembiayaan Bermasalah di Bank Syariah (Jakarta: Sinar Grafika, 2012).

Janwari, Djazuli dan Yadi, Lembaga-lembaga Perekonomian Umat (Sebuah Pengenalan) (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002).

Muhammad, Bank Syariah: Analisis,  Kekuatan,  Peluang,  Kelemahan dan Ancaman, (Yogyakarta: Ekonisia, 2003).

--------------, Konstruksi Mudharabah Dalam Bisnis Syariah (Yogyakarta: Pusat Studi Ekonomi Islam, 2003).

--------------, Manajemen Dana Bank Syariah, (Yogyakarta: Ekonisia, 2004).

Saeed, Abdullah, Bank Islam dan Bunga, terj. Muhammad Ufuqul Mubin dkk. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003).

Sudarsono, Heri, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah (Yogyakarta: Ekonisia, 2003).

Zuhdi, Masjfuk, Masail Fiqhiyah (Jakarta: CV. Haji Masagung, 1988).

E-book Perbakan Syariah (Jakarta: Pusat Komunkasi Ekonomi Syariah, 2008)

Arief R. Permana dan Anton Purba, Sekilas Ulasan UU Perbankan Syariah dalam Buletin Hukum Perbakan dan Kebank Sentralan vol. 6 no. 2, Agustus 2008.

Bank Indonesia, Petunjuk Pelaksanaan Pembukaan Kantor Bank Syariah, (Jakarta: Bank Indonesia, 1999)

Bank Muamalat, Annual Report (Jakarta: 1999).

UU. No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah

Peraturan bank Indonesia no. 7/46/PBI/2005

Peraturan  Bank  Indonesia  Nomor9/19/PBI/2007  




[1] Karnaen A. Perwataatmadja dan Syafi’i Antonio, Apa dan Bagaimana Bank Syariah (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1992), hlm. 1.
[2] Abdul Aziz Dahlan, dkk (Ed.). Ensiklopedi Hukum Islam (Jakarta: Ikhtiar Baru van Hoeve, 1997), hlm; 194.
[3] Djazuli dan Yadi Janwari, Lembaga-lembaga Perekonomian Umat (Sebuah Pengenalan) (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), 54-55.
[4] Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah (Jakarta: CV. Haji Masagung, 1988), hlm. 143.
[5] Muhammad, Konstruksi Mudharabah Dalam Bisnis Syariah (Yogyakarta: Pusat Studi Ekonomi Islam, 2003) hlm. 13.
[6] Abdullah Saeed, Bank Islam dan Bunga, terj. Muhammad Ufuqul Mubin, dkk. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hlm. 1.
[7] M. Amin, Aziz, Mengembangkan Bank Islam di Indonesia, (Jakarta: Bankit, 1992), hlm. 25
[8] Pada saat penanda-tanganan akte pendirian ini terkumpul komitmen pembelian saham sebanyak Rp 84 miliar. Pada tanggal 3 November 1991, dalam acara silaturahmi Presiden di Istana Bogor, dapat dipenuhi dengan total komitmen modal disetor awal sebesar Rp l06.126.382.000,00. Dengan modal awal tersebut, pada tanggal 1 Mei 1992, Bank Muamalat Indonesia mulai beroperasi. Hingga September 1999, Bank Muamalat Indonesia telah memiliki lebih 45 outlet yang tersebar di Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Balikpapan, dan Makasar.Bank Muamalat, Annual Report (Jakarta: 1999), hlm 26
[9] Bank Indonesia, Petunjuk Pelaksanaan Pembukaan Kantor Bank Syariah, (Jakarta: Bank Indonesia, 1999), hlm 26
[10] Merupakan bank milik pemerintah pertama yang melandaskan operasionalnya pada prinsip syariah. Secara struktural, BSM berasal dari Bank Susila Bakti (BSB), sebagai salah satu anak perusahaan di lingkup Bank Mandiri (ex BDN), yang kemudian dikonversikan menjadi bank syariah secara penuh. Dalam rangka melancarkan proses konversi menjadi bank syariah, BSM menjalin kerja sama dengan Tazkia Institute, terutama dalam bidang pelatihan dan pendampingan konversi. Muhamad Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktek (Jakarta: Gema Insani Press, 2003) hlm. 25-27.
[11] Dari UU tersebut kita bisa menangkap bahwa sistem perbankan syariah dikembangkan dengan tujuan, antara lain, sebagai berikut. Pertama, Memenuhi kebutuhan jasa perbankan bagi masyarakat yang tidak dapat menerima konsep bunga. Dengan diterapkannya sistem perbankan syariah yang berdampingan dengan sistem perbankan konvensional, mobilisasi dana masyarakat dapat dilakukan secara lebih luas terutama dari segmen yang selama ini belum dapat tersentuh oleh sistem perbankan konvensional yang menerapkan sistem bunga. Kedua, Membuka peluang pembiayaan bagi pengembangan usaha berdasarkan prinsip kemitraan. Dalam prinsip ini, konsep yang diterapkan adalah hubungan investor yang harmonis (mutual investor relationship). Sementara dalam bank konvensional konsep yang diterapkan adalah hubungan debitur dan kreditur (debtor to creditor relationship).  Ketiga, Memenuhi kebutuhan akan produk dan jasa perbankan yang memiliki beberapa keunggulan komparatif berupa peniadaan pembebanan bunga yang berkesinambungan (perpetual interest effect), membatasi kegiatan spekulasi yang tidak produktif (unproductive speculation), pembiayaan ditujukan kepada usaha-usaha yang lebih memperhatikan unsur moral. Lihat Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah (Yogyakarta: Ekonisia, 2003), hlm. 33.
[12] Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah. hlm. 42.
[13] Muhammad, Bank Syariah: Analisis,  Kekuatan,  Peluang,  Kelemahan dan Ancaman, (Yogyakarta: Ekonisia, 2003), hlm. 17-18  
[14]Muhammad, Konstruksi Mudharabah Dalam Bisnis Syariah, hlm. 27.
[15] E-book Perbakan Syariah (Jakarta: Pusat Komunkasi Ekonomi Syariah, 2008), hlm. 32.
[16] Untuk  lebih jelasnya  mengenai ketentuan tersebut lihat pada lampiran pasal 3 5 Peraturan bank Indonesia no. 7/46/PBI/2005
[17] lihat pasal 6 18 PBI no.7/46/PBI/2005
[18] Prinsip wadiah yang diterapkan adalah prinsip wadiah yad dhamanah yang diterapkan pada produk rekening giro. Lihat Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah. hlm. 75.  
[19] UU. No. 21 Tahun 2008 Pasal 19 ayat 1 bagian c.
[20] Lihat SK Direksi Bank Indonesia No. 32/34/KEP/DIR tanggal 12 mei 1999. Lihat juga pada: Muhamamd, Manajemen Dana Bank Syariah, (Yogyakarta: Ekonisia, 2004), hlm. 6 7.

[21] Dalam pasal 1 ayat 3 menyatakan bahwa Pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan/piutang yang dapat dipersamakan dengan itu dalam; Pertama, Transaksi investasi yang didasarkan antara lain atas Akad Mudharabah dan/atau Musyarakah. Kedua, Transaksi  sewa  yang  didasarkan  antara  lain atas  Akad  Ijarah  atau  Akad  Ijarah dengan opsi perpindahan hakmilik (Ijarah Muntahiyyah bit Tamlik). Ketiga, Transaksi jual beli yang didasarkan antara lain atas AkadMurabahah, Salam, dan Istishna. Keempat, Transaksi pinjaman yang didasarkan antara lain atas Akad Qardh. Kelima, Transaksi multijasa yang didasarkan antara laina tas Akad Ijarah atau Kafalah. Lihat  Peraturan  Bank  Indonesia  Nomor9/19/PBI/2007  tentang  pelaksanaan  prinsip syariah dalam kegiatan penghimpunan dan penyaluran dana serta pelayanan jasa Bank syariah dan dijelas pula dalam UU. No. 21 Tahun 2008.
[22] Lihat UU No. 21 Tahun 2008 yang telah dijelaskan dengan rinci dalam pasal 19.
[23] Pada kata perdamaial (sulh) adalah meredam pertikaian.atau suatu jenis kesepakatan untuk mengakhiri perselisihan antar dua orang yang bersengketa secara damai. Sedangkan arbitrase adalah cara penyelesaian suatu engketa perdata diluar peradilan umum (dan peradilan agma) yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Lihat Faturrahman Djamil, Penyelesaian Pembiayaan Bermasalah di Bank Syariah (Jakarta: Sinar Grafika, 2012) hlm. 106.
[24] UU. No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
[25] Arief R. Permana dan Anton Purba, Sekilas Ulasan UU Perbankan Syariah dalam Buletin Hukum Perbakan dan Kebank Sentralan vol. 6 no. 2, Agustus 2008.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar