I.
Pendahuluan
Kehidupan manusia dimulai saat
setelah pembuahan terjadi sebagaimana dijelaskan dalam ayat di atas. Jika
dengan sadar dan dengan segala cara kita mengakhiri hidup manusia tak berdosa, berarti
kita melakukan suatu perbuatan tak bermoral dan asosial. Tidak semestinya kita
membiarkan penghentian nyawa hidup siapapun atau hidup kita sebagai manusia
menjadi tidak berharga lagi.Sekarang ini, praktek aborsi semakin merajalela,
bukan hanya pada kalangan masyarakat, mahasiswa pun melakukan praktek aborsi,
dan banyak juga pelajar yang melakukan praktek aborsi ini.
Sebagaimana dahulu pernah
diberitakan di media massa, kasus ditemukannya dua belas bayi di sekitar jalan
tol di daerah Warakas, menyebarnya video aborsi siswi SMU dan terbongkarnya
praktek aborsi di salah satu klinik di kawasan Percetakan Negara Jakarta Pusat,
menyeruakkan kembali fenomena praktek aborsi di kalangan masyarakat yang
tentunya menyentak hati nurani, sehingga semestinya mendapatkan perhatian dan
bimbingan termasuk agama.
Data menyebutkan satu juta wanita
Indonesia melakukan aborsi setiap tahunnya. Dari jumlah tersebut sekitar 50%
berstatus belum menikah, 10%-21% di antaranya dilakukan remaja, 8%-10%
kegagalan KB, dan 2%-3% kehamilan yang tidak diinginkan oleh pasangan menikah.
Kenyataan ini menunjukkan tingginya kebutuhan terhadap praktek aborsi dan
beragamnya faktor penyebab aborsi[1].
Tingginya animo masyarakat untuk
melakukan praktek aborsi yang tidak diimbangi dengan pengetahuan hukum dan
nilai agama sering kali masalah aborsi dianggap enteng dan prakteknya dilakukan
secara sembunyi-sembunyi sekalipun tidak jarang merenggut nyawa sang ibu.
II.
Pembahasan
A.
Pengertian Aborsi
Menurut
bahasa kata aborsi berasal dari bahasa Inggris yaitu abortion yang berarti
gugur kandungan atau keguguran. Dalam bahasa Arab disebut Isqatu Hamli
atau al Ijhadh (إسقاط الحمل آوالاجها د).
Menurut
Huzaimah Tahido Yanggo dalam bukunya Masail Fiqhiyah ada perbedaan dalam
mengartikan tentang aborsi, seperti diungkapkan oleh Sardikin Guna Putra,
aborsi adalah pengakhiran kehamilan atas hasil konsepsi sebelum janin dapat
hidup di luar kandungan. Sedangkan menurut Mardjono Reksodiputra, aborsi adalah
pengeluaran hasil konsepsi dari rahim sebelum hasil konsepsi dapat lahir secara
alamiah dengan adanya kehendak merusak hasil konsepsi tersebut. Berbeda juga menurut Nani Soendo, aborsi adalah pengeluaran buah
kehamilan pada waktu janin masih demikian kecilnya sehinga tidak dapat hidup[2].
Dapat
disimpulkan sebagaimana dikutip dari M. Quraish Shihab dalam bukunya yang
berjudul Perempuan bahwa aborsi adalah pengguguran kandungan (janin)
sebelum sempurna masa kehamilan, baik dalam keadaan hidup atau mati, sehingga
keluar dari rahim dan tidak hidup, baik itu dilakukan dengan obat atau
selainnya, oleh yang mengandungnya maupun bantuan orang lain[3].
B.
Macam-Macam Aborsi
1.
Aborsi spontan (spontaneous aborts)
Ialah aborsi yang tidak disengaja. Aborsi spontan biasa terjadi karena
penyakit sphylis, demam panas yang hebat, penyakit ginjal, TBC, kecelakaan dsb.
Oleh para ulama aborsi ini disebut Isqath al Al’afwi yang
berarti aborsi yang dimaafkan, karena pengguguran seperti ini tidak menimbulkan
akibat hukum.
2.
Aborsi buatan
atau disengaja (abottus provocatus)
Pengguguran
yang terjadi sebagai akibatdari suatu tindakan. Di sini campur tangan manusia
tampak jelas[4]
Aborsi ini
dibagi menjadi dua macam, yaitu:
a.
Aborsi
Artificialis Therapicus (Isqath al Dharuri)
Aborsi yang
dilakukan oleh dokter atas dasar indikasi medis, sebelum lahir secara alami
untuk menyelamatkan jiwa ibu yang terancam bila kelangsungan kehamilan
dipertahankan menurut pemeriksaan dokter.
b.
Aborsi
Provocatus Criminalis (Isqath al Ikhtiyari)
Pengguguran
yang dilakukan tanpa dasar indikasi medis, seperti halnya aborsi yang dilakukan
untuk meniadakan hasil hubungan seks di
luar perkawinan atau untuk mengakhiri kehamilan yang tidak dikehendaki[5].
C.
Pandangan Ulama
Tentang Aborsi
Ulama
fiqh telah sepakat mengatakan bahwa pengguguran kandungan (aborsi) sesudah
ditiup ruh (selama 4 bulan kehamilan) adalah haram, karena perbuatan tersebut
merupakan kejahatan terhadap nyawa[6].
Sedangkan pengguguran kandungan (aborsi) sebelum ditiup ruh pada janin (embrio),
yaitu sebelum 4 bulan, para fuqaha berbeda pendapat tentang boleh tidaknya
melakukan pengguguran tersebut.
Ulama
yang membolehkan aborsi sebelum janin berumur 4 bulan adalah Muhammad Ramli (wafat
1596 M) dalam kitabnya al-Nihayah, dengan alasan karena belum ada mahluk
yang bernyawa. Adapun ulama yang memandang makruh adalah Abu Hanifah dengan
alasan karena janin masih mengalami pertumbuhan.
Diantara
ulama yang mengharamkan aborsi sebelum ditiup ruhnya adalah Ibnu Hajar dalam
kitabnya al-Tuhfah, al-Ghazali[7]
dalam kitabnya Ihya’ Ulumi al-Din, Syekh Syaltut dalam kitabnya al-Fatawa
dan sebagian ulama Malikiyah. Mereka mengharamkan aborsi karena
sesungguhnya janin (embrio) pada saat itu sudah ada kehidupan (hayat)
yang patut dihormat, yaitu dalam hidup pertumbuhan dan persiapannya[8].
Sedangkan
ulama Syafi’iyah berpendapat dimakruhkan aborsi ketika usia kandungan belum
sampai 40 hari dan mengharamkan ketika usia kandungan lebih dari 40 hari[9].
Aborsi
dalam pandangan ulama baik dalam literatur fiqh klasik maupun kontemporer
selalu kontroversial. Begitu juga dikalangan masyarakat. Jika dianalisis, inti
atau subtansi penyeban terjadinya perbedaan pendapat tersebut adalah karena
berbeda sudut pandang dalam melihat sejak kapan dimulainya suatu kehidupan
manusia. Apakah kehidupan itu dimulai sejak konsepsi atau dimulai sejak
ditiupkannya ruh.
Sebagian besar
ahli fiqh menyakini bahwa tiga tahap perkembangan kandungan seperti yang
digambarkan al-Quran yaitu:
ôs)s9ur
$oYø)n=yz
z`»|¡SM}$#
`ÏB
7's#»n=ß
`ÏiB
&ûüÏÛ
ÇÊËÈ §NèO
çm»oYù=yèy_
ZpxÿôÜçR
Îû
9#ts%
&ûüÅ3¨B
ÇÊÌÈ ¢OèO
$uZø)n=yz
spxÿôÜZ9$#
Zps)n=tæ
$uZø)n=ysù
sps)n=yèø9$#
ZptóôÒãB
$uZø)n=ysù
sptóôÒßJø9$#
$VJ»sàÏã
$tRöq|¡s3sù
zO»sàÏèø9$#
$VJøtm:
¢OèO
çm»tRù't±Sr&
$¸)ù=yz
tyz#uä
4
x8u$t7tFsù
ª!$#
ß`|¡ômr&
tûüÉ)Î=»sø:$#
ÇÊÍÈ
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan
manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian kami jadikan
saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian
air mani itu kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu kami jadikan
segumpal daging, dan segumpal daging itu kami jadikan tulang belulang, lalu
tulang belulang itu kami bungkus dengan daging. Kemudian kami jadikan dia
makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta yang paling
baik”. (Q.S. al-Mu’minun: 12-14)
Kata nuthfah,
‘alaqah dan mudghah[10],bahwa
janin ketika itu belum memiliki jiwa manusia tetapi hanya menunjukkan kehidupan
( al-hayah al-nabathiyah). Sesudah itu janin baru dinyatakan memiliki
gerakan yang berkemauan atau berkehendak (al-harakah al-iradiyah)
sebagai indikasi telah adanya ruh. Sementara ulama yang menolak aborsi
menyakini bahwa proses kehidupan itu dimulai sejak konsepsi dan saling
berkaitan antara proses kehidupan satu dengan proses kehidupan berikutnya.
Begitu juga proses pemberian ruh (nafhki ruh) tidak akan terjadi tanpa
melalui proses kehidupan lainnya. Dan bagaimana dengan aborsi yang dilakukan
karena pertimbangan-pertimbangan sosial ekonomi, politik maupun dampak
psikologis lainnya, sejauh ini belum ada pendapat ulama fiqh yang secara khusus
mengkodifikasikannya. Namun pada kasus-kasus tertentu yang dapat menimbulkan
hilangnya nyawa manusia (al-dharurat[11]),
aborsi dapat dilakukan tanpa harus melihat usia kehamilan[12].
Karena pada dasarnya keadaan dharurat dapat membolehkan sesuatu yang
dilarang (الضرورات تبيح المحظورات)[13].
Keadaan dharurat
ini, juga dapat terjadi pada kasus pemerkosaan. Perempuan dalam keadaan ini
pada umumnya mengalami penderitaan jiwa yang bisa menimbulkan penderitaan fisik
dan mental, bahkan bisa jadi menghancurkan hidupnya. Maka, pengguguran dalam
keadaan ini dipandang lebih ringan dibandingkan kematian. Keadaan dharurat
juga terjadi karena adanya anak yang tidak sah yag memerlukan biaya dan orang
yang memeliharanya atau mendidiknya. Apalagi, kenyataan pada masyarakat di
negara-negara Islam pada umumnya masih belum dapat menerima kehadiran anak yang
dilahirkan secara tidak sah. Ini juga berakibat terganggunya kehidupan mereka.
Akan tetapi, apabila perempuan yang diperkosa tadi menerima nasibnya dan hal
itu tidak menimbulkan akibat buruk bagi jiwa maupun tubuhnya, dia wajib tidak
melakukan pengguguran, dia wajib pula mendidiknya agar menjadi anak saleh[14].
D.
Hukuman Bagi Pelaku Aborsi
Dari uraian di
atas dapat dipahami bahwa aborsi daam pandangan hukum Islam termasuk perbuatan
yang keji dan merupakan suatu kejahatan. Kejahatan yang lengkap unsur-unsurnya
dan dilakukan oleh pelaku dalam keadaan sadar dan sengaja, tentu akan
mendapatkan hukuman. Sebagaimana dicontohkan Nabi dalam haditsnya:
عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: أَنَّ امْرَأَتَيْنِ مِنْ هُذَيْلٍ، رَمَتْ إِحْدَاهُمَا
الأُخْرَى فَطَرَحَتْ جَنِينَهَا، فَقَضَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فِيهَا بِغُرَّةٍ، عَبْدٍ أَوْ أَمَةٍ.[15]
“Salah seorang
dari dua perempuan bani Huzeil melempar saudaranya (juga dari perempuan bani
Huzeil) sehingga gugur kandungannya. Kemudian Rasulullah saw, menghukumnya
dengan ghurrah seorang sahaya laki-laki atau perempuan”. (HR. Muslim).
Hadits ini
menunjukkan bahwa Nabi, menetapkan wajib ghurrah (denda)[16]
pada janin tanpa menjelaskan pada tahap mana ia diwajibkan. Ini berati denda
itu diwajibkan karena adanya janin dalam kandungan, walau pun masih berbentuk
cairan seperma[17].
Di Indonesia
sendiri sanksi bagi pelaku aborsi telah diatur dalam Undang-Undang
Kesehatan Pasal 194, salah satu upaya
yang dilakukan oleh pemerintah supaya pelaku aborsi jera. Hukaman tersebut
adalah pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak 1 milyar
rupiah[18].
III.
Kesimpulan
Pengguguran
kandungan pada prinsipnya dilarang. Tetapi untuk keadaan tertentu dengan
sejumlah alasan tertentu yang dibenarkan secara medis dan syar’i, maka aborsi
dapat dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA
Hasbi, Rusli, Fiqh Inovatif Dinamika Pemikiran Ulama Timur
Tengah ( Jakarta: Al-Irfan Publishing, 2007).
Mudjib,
Abdul, Kaidah-Kaifah Ilmu Fikih (Jakarta: Kalam Mulia, 2010)
Muhammad, Husein, Fiqh Perempuan Refleksi Kiai atas Wacana Agama
dan Gender (Yogyakarta: LkiS, 2001).
Qaradhawi, Yusuf, Fatwa-Fatwa Kontemporer, jilid 2 (Jakarta,
Gema Insani, 1995).
-----------------------, Halal dan Haram (Bandung: Jabal,
2007).
Saifullah dalam
Problematika Hukum Islam Kontemporer (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2009).
Shihab, M.
Quraish, Perempuan Dari Cinta Sampai Seks Dari Nikah Mut’ah Sampai Nikah
Sunnah Dari Bias Lama Sampai Bias Baru (Jakarta: Lentera Hati, 2005).
Sholeh, Asrorun
Ni’am, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga (Jakarta: eLSAS,
2008).
Wiknjosastro, Gulardi H., dkk, Aborsi Dalam Persperktif Fiqh
Kontemporer (Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2002).
Yanggo, Huzaemah Tahido, Masail Fiqhiyah Kajian Hukum Islam Kontemporer (Bandung:
Angkasa, 2007).
Penciptaan Manusia Dalam Perspektif Al-Qura’an dan Sains (Jakarta: Kementerian Agma RI, 2012).
Setiawan Budi Utomo dalam,
http://www.dakwatuna.com/2009/10/4181/aborsi-perspektif-syariah.
Undang-Undang
No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
[1]Setiawan Budi Utomo dalam,
http://www.dakwatuna.com/2009/10/4181/aborsi-perspektif-syariah.
[2] Huzaemah Tahido Yanggo, Masail Fiqhiyah
Kajian Hukum Islam Kontemporer (Bandung: Angkasa, 2007), 192.
[3] M. Quraish
Shihab, Perempuan Dari Cinta Sampai Seks Dari Nikah Mut’ah Sampai Nikah
Sunnah Dari Bias Lama Sampai Bias Baru (Jakarta: Lentera Hati, 2005), 233.
[4] Saifullah
dalam Problematika Hukum Islam Kontemporer (Jakarta: Pustaka Firdaus,
2009), 131.
[5] Pada umumya
wanita melakukan aborsi ini karena didorong beberapa hal diantaranya; pertama,
dorongan ekonomi/ dorongan individual. Dorongan ini timbul karena kekhawatiran
terhadap kemiskinan, tidak ingin mempunyai keluarga besar, memelihara
kecantikan, mempertahankan status sebagai wanita karir dsb. Kedua, dorongan kecantikan, dorongan ini timbul
biasanya bila ada kekhawatiran bahwa janin dalam kandungan akan lahir dalam
keadaan cacat akibat radiasi, abat-obatan, keracunan dsb. Ketiga, dorongan
moral, dorongan ini muncul biasanya karena wanita yang hamil tidak sangup
menerima sanksi sosial dari masyarakat, disebabkan hubungan biologis yang tidak
memperhatikan moral dan agama, seperti kumpul kebo atau kehamilan diluar nikah.
Keempat, dorongan lingkungan, faktor lingkunga juga mempengaruhi insiden
pengguguran kehamilan muda, misalnya sikap dari penolong (dokter, bidan, dukun
dll), pemakaian kontrasepsi, norma tentang aktivitas seksual dan hubungan
seksual dari luar pernikahan , norma agama dan moral. Lihat Huzaimah Tahido Yanggo, Masail Fiqhiyah Kajian
Hukum Islam Kontemporer, 194. Lihat juga Asrorun Ni’am Sholeh, Fatwa-Fatwa Masalah
Pernikahan dan Keluarga (Jakarta: eLSAS, 2008), 167.
[6] Sebagaimana
yang telah dikutip oleh Yusuf al-Qaradhawi dari Ibnu Hazm dalam kitab al-Muhalla-nya
beliau menganggap tindakan ini sebagai tindakan kejahatan pembunuhan dengan
sengaja yang mewajibkan pelakunya menanggung segala resiko, seperti hukum
qishash dan lain-lain. Lihat Yusuf Qaradhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer,
jilid 2 (Jakarta, Gema Insani, 1995), 772.
[7] Imam Ghazali membedakan antara mencegah kehamilan dan
pengguguran kandungan. Ia berkata, mencegah kehamilan tidak sama dengan
pengguguran dan pembunuhan. Sebab apa yang disebut
pembunuhan atau pengguguran yaitu suatu tindakan kriminal terhadap manusia yang
sudah ujud, sedang ujudnya anak itu sendiri bertahap. Tahap pertama yaitu
bersarangnya sperma dalam rahim dan bercampur dengan air perempuan dan dia siap
menghadapi kehidupan. Merusaknya berarti suatu tindak kriminal. Jika seperma
ini sudah menjadi darah, maka tindak kriminal dalam hal ini lebih kejam. Jika
telah ditiupkan roh dan sudah sempurna kejadiannya, maka tindak kriminal dalam
soal ini lebih kejam lagi. Sikap paling keji dalam soal kriminal ini, ialah
apabila si anak tersebut telah lahir dan dalam keadaan hidup Lihat Yusuf Qaradhawi, Halal dan Haram (Bandung: Jabal,
2007), 209
[9] Gulardi
H. Wiknjosastro, dkk, Aborsi Dalam Persperktif Fiqh Kontemporer
(Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2002), 219. Di Indonesian
sendiri Dalam kaitan ini Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa
tentang hukum aborsi sebagai respon pertanyaan masyarakat. Fatwa Majelis Ulama
Indonesia Nomor 4 Tahun 2005, tentang Aborsi menetapkan ketentuan hukum Aborsi
sebagai berikut; Pertama, Aborsi haram hukumnya sejak terjadinya
implantasi blastosis pada dinding rahim ibu (nidasi). Kedua, Aborsi
dibolehkan karena adanya uzur, baik yang bersifat darurat ataupun hajat.
Darurat adalah suatu keadaan di mana seseorang apabila tidak melakukan sesuatu
yang diharamkan maka ia akan mati atau hampir mati. Sedangkan Hajat adalah
suatu keadaan di mana seseorang apabila tidak melakukan sesuatu yang diharamkan
maka ia akan mengalami kesulitan besar. Lihat Setiawan Budi
Utomo dalam, http://www.dakwatuna.com/2009/10/4181/aborsi-perspektif-syariah.
[10] Sebagaimana
telah dijelaskan dalam al-Quran surat al-Mu’minun: ayat 13 ada tiga tahapan
pembentukan manusia yaiut: Pertama; Nutfah (air mani), kata nutfah
yang berarti sedikit air atau setetes air, jelas mendeskripsikan air yang
sedikit yang dipancarkan lelaki saat bersenggama. Air yang sedikit itu
mengandung sperma. Sperma atau spermatozoa terdapat di dalam “air yang
menjijikkan” dalam bentuk ikan berekor panjang (sulalah), sebagaimana dalam
surat as-Sajadah: ayat 8. Kedua; ‘Alaqah, yang berbentuk seperti
lintah, benda yang tersambung atau segumpal darah. ‘Alaqah merupakan
bentuk praembrionik yang terjadi setelah percampuran sperma dan ovarium. K.L.
Moore dan Abdul Majeed Azzindari dalam bukunya The Developing Human: Clinically Oriented Embryology, with Islamic
Additions, Correlation Studies with Qur’an and Hadith, mengemukakan
penjelasan yang cukup bagus tentang ‘alaqah. ‘Alaqah kata keduanya, dalam
bahasa Arab berarti lintah (leech), suatu suspensi (suspended thing),
atau segumpal darah (a clot of blood). Lintah merupakan binatang tingkat
rendah, berbentuk seperti buah pir dan hidup dengan menghisap darah. Ternyata
sifat dalam bentuk ini dapat diterapkan pada ‘alaqah. Jadi, ‘alaqah
adalah suatu stadium embrionik yang berbentuk seperti buah pir, ketika sistem cardiovaskular
(sistem pembuluh jantung) sudah mulai tampak dan hidungnya tergantung pada
darah ibunya. ‘Alaqah terbentuk sekitar 24-25 hari sejak pembuahan. Jika
jaringan praembrionik ini digugurkan maka ia akan tampak seperti segumpal
darah. Transformasi dari nutfah menjadi ‘alaqah berlangsung sekitar 10
hari, diakhiri terbentuknya zigot yang menempel pada dinding rahim dengan
plasenta primitif yang dinamakan umbilical cord. Ketiga; Mudghad,
tahapan mudghad ditandai dengan bermulanya perkembangan dan pembiakan
sel yang laur biasa. Segumpal daging ini terdiri dari sel-sel atau
jaringan-jaringan yang sudah maupun yang belum mengalami diferensiasi (seperti
terbentuknya mata, bibir, tangan, kaki), dan tahapan mudghad berakhir pada
minggu ke-6, kurang lebih pada hari ke-40. Lihat dalam Penciptaan Manusia
Dalam Perspektif Al-Qura’an dan Sains (Jakarta: Kementerian Agma RI, 2012)
81.
[11] Para peneliti
dan pakar hukum Islam sepakat memposisikan aborsi sama dengan dharurat,
yaitu dharurat dalam konteks syar’i. Ada beberapa syarat yang harus
dipenuhi agar dharurat dapat digolongkan ke dalam konteks syar’i antara
lain: Pertama; Dharurat merupakan tindakan penyelamatan diri (Hifzunnafsi)
akibat timbulnya kekhawatiran yang mendalam jika hal tersebut tidak dilakukan
akan menimbulkan rusaknya salah satu bagian dari Maqashid asy-Syariah
yang wajib dijaga menurut syar’i. Kedua; Dharurat tidak
berhubungan dengan perbuatan maksiat. Larangan seorang untuk melakukan
perbuatan maksiat dalam kondisi dharurat lebih dilandasi pada sikap at-tasamuh
(toleransi) dan rukhshah (dispensasi) yang diberikan oleh Allah SWT,
kepada manusia, karena itu tidak diperkenankan rukhshah dalam perbuatan
maksiat. Ketiga; Dharurat merupakan satu-satunya alasan yang
dapat menghilangkan kesulitan bagi orang yang sedang berada dalam masalah. Keempat;
Rukhshah hanya boleh digunakan dalam keadaan terdesak saja atau untuk
mencegah terjadinya kemadharatan. Kelima;
Jika dapat diyakini bahwa orang yang berada dalam kondisi dharurat akan
terkena bahaya jika tidak mengambil jalan dharurat. Keenam; Dharurat
tidak melanggar hak orang lain atau melanggar hal-hal yang telah dilarang oleh
agama. Ketujuh; Kerusakan yang timbul akibat meninggalkan perbuatan yang
dilarang lebih besar dari pada kerusakan yang timbul karena melakukannya.
Lihat: Rusli Hasbi, Fiqh Inovatif Dinamika Pemikiran Ulama Timur Tengah
( Jakarta: Al-Irfan Publishing, 2007), 14.
[12] Lihat majalah Al-Buhuts
al-Mu’ashirah, Kajian Fiqh kontemporer, Riyadh, dalam buku, Husein
Muhammad, Fiqh Perempuan Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender
(Yogyakarta: LkiS, 2001), 166.
[13] Abdul Mudjib, Kaidah-Kaifah
Ilmu Fikih (Jakarta: Kalam Mulia, 2010), 36.
[14] Gulardi H.
Wiknjosastro, dkk, Aborsi Dalam Persperktif Fiqh Kontemporer, 166. Lihat
juga Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, pasal 75 ayat 2 bagian
b, bahwa aborsi boleh dilakukan pada kehamilan akibat pemerkosaan.
[15] Imam Muslim, Sahih
Muslim, Tahkik Muhammad Fuad Abdul Baqy (Bairut: Dar Ihya’ at-Turas, tth),
1309.
[16] Ghurrah
(denda) dapat diartikan sebagai diyat (tebusan), kifarah (ganti rugi) dan
ta’zir (hukuman) . hukuman tersebut diberikan dengan melihat usia kandungan
saat melakukan aborsi.
[17] Saifullah
dalam Problematika Hukum Islam Kontemporer. 145.
[18] Lihat,
Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar