Jumat, 17 Mei 2013

HUKUM ABORSI PADA KEHAMILAN DI BAWAH 4 BULAN



I.     Pendahuluan
Kehidupan manusia dimulai saat setelah pembuahan terjadi sebagaimana dijelaskan dalam ayat di atas. Jika dengan sadar dan dengan segala cara kita mengakhiri hidup manusia tak berdosa, berarti kita melakukan suatu perbuatan tak bermoral dan asosial. Tidak semestinya kita membiarkan penghentian nyawa hidup siapapun atau hidup kita sebagai manusia menjadi tidak berharga lagi.Sekarang ini, praktek aborsi semakin merajalela, bukan hanya pada kalangan masyarakat, mahasiswa pun melakukan praktek aborsi, dan banyak juga pelajar yang melakukan praktek aborsi ini.
Sebagaimana dahulu pernah diberitakan di media massa, kasus ditemukannya dua belas bayi di sekitar jalan tol di daerah Warakas, menyebarnya video aborsi siswi SMU dan terbongkarnya praktek aborsi di salah satu klinik di kawasan Percetakan Negara Jakarta Pusat, menyeruakkan kembali fenomena praktek aborsi di kalangan masyarakat yang tentunya menyentak hati nurani, sehingga semestinya mendapatkan perhatian dan bimbingan termasuk agama.
Data menyebutkan satu juta wanita Indonesia melakukan aborsi setiap tahunnya. Dari jumlah tersebut sekitar 50% berstatus belum menikah, 10%-21% di antaranya dilakukan remaja, 8%-10% kegagalan KB, dan 2%-3% kehamilan yang tidak diinginkan oleh pasangan menikah. Kenyataan ini menunjukkan tingginya kebutuhan terhadap praktek aborsi dan beragamnya faktor penyebab aborsi[1].
Tingginya animo masyarakat untuk melakukan praktek aborsi yang tidak diimbangi dengan pengetahuan hukum dan nilai agama sering kali masalah aborsi dianggap enteng dan prakteknya dilakukan secara sembunyi-sembunyi sekalipun tidak jarang merenggut nyawa sang ibu.

II.  Pembahasan
A.  Pengertian Aborsi
Menurut bahasa kata aborsi berasal dari bahasa Inggris yaitu abortion yang berarti gugur kandungan atau keguguran. Dalam bahasa Arab disebut Isqatu Hamli atau al Ijhadh (إسقاط الحمل آوالاجها د).
Menurut Huzaimah Tahido Yanggo dalam bukunya Masail Fiqhiyah ada perbedaan dalam mengartikan tentang aborsi, seperti diungkapkan oleh Sardikin Guna Putra, aborsi adalah pengakhiran kehamilan atas hasil konsepsi sebelum janin dapat hidup di luar kandungan. Sedangkan menurut Mardjono Reksodiputra, aborsi adalah pengeluaran hasil konsepsi dari rahim sebelum hasil konsepsi dapat lahir secara alamiah dengan adanya kehendak merusak hasil konsepsi tersebut. Berbeda juga  menurut Nani Soendo, aborsi adalah pengeluaran buah kehamilan pada waktu janin masih demikian kecilnya sehinga tidak dapat hidup[2].
Dapat disimpulkan sebagaimana dikutip dari M. Quraish Shihab dalam bukunya yang berjudul Perempuan bahwa aborsi adalah pengguguran kandungan (janin) sebelum sempurna masa kehamilan, baik dalam keadaan hidup atau mati, sehingga keluar dari rahim dan tidak hidup, baik itu dilakukan dengan obat atau selainnya, oleh yang mengandungnya maupun bantuan orang lain[3].    

B.  Macam-Macam Aborsi
1.    Aborsi spontan (spontaneous aborts)
Ialah aborsi yang tidak disengaja. Aborsi spontan biasa terjadi karena penyakit sphylis, demam panas yang hebat, penyakit ginjal, TBC, kecelakaan dsb. Oleh para ulama aborsi ini disebut Isqath al Al’afwi   yang berarti aborsi yang dimaafkan, karena pengguguran seperti ini tidak menimbulkan akibat hukum.      
2.    Aborsi buatan atau disengaja (abottus provocatus)
Pengguguran yang terjadi sebagai akibatdari suatu tindakan. Di sini campur tangan manusia tampak jelas[4] 
Aborsi ini dibagi menjadi dua macam, yaitu:
a.    Aborsi Artificialis Therapicus (Isqath al Dharuri)
Aborsi yang dilakukan oleh dokter atas dasar indikasi medis, sebelum lahir secara alami untuk menyelamatkan jiwa ibu yang terancam bila kelangsungan kehamilan dipertahankan menurut pemeriksaan dokter.
b.    Aborsi Provocatus Criminalis (Isqath al Ikhtiyari)
Pengguguran yang dilakukan tanpa dasar indikasi medis, seperti halnya aborsi yang dilakukan  untuk meniadakan hasil hubungan seks di luar perkawinan atau untuk mengakhiri kehamilan yang tidak dikehendaki[5].

C.  Pandangan Ulama Tentang Aborsi
Ulama fiqh telah sepakat mengatakan bahwa pengguguran kandungan (aborsi) sesudah ditiup ruh (selama 4 bulan kehamilan) adalah haram, karena perbuatan tersebut merupakan kejahatan terhadap nyawa[6]. Sedangkan pengguguran kandungan (aborsi) sebelum ditiup ruh pada janin (embrio), yaitu sebelum 4 bulan, para fuqaha berbeda pendapat tentang boleh tidaknya melakukan pengguguran tersebut.
Ulama yang membolehkan aborsi sebelum janin berumur 4 bulan adalah Muhammad Ramli (wafat 1596 M) dalam kitabnya al-Nihayah, dengan alasan karena belum ada mahluk yang bernyawa. Adapun ulama yang memandang makruh adalah Abu Hanifah dengan alasan karena janin masih mengalami pertumbuhan.
Diantara ulama yang mengharamkan aborsi sebelum ditiup ruhnya adalah Ibnu Hajar dalam kitabnya al-Tuhfah, al-Ghazali[7] dalam kitabnya Ihya’ Ulumi al-Din, Syekh Syaltut dalam kitabnya al-Fatawa dan sebagian ulama Malikiyah. Mereka mengharamkan aborsi karena sesungguhnya janin (embrio) pada saat itu sudah ada kehidupan (hayat) yang patut dihormat, yaitu dalam hidup pertumbuhan dan persiapannya[8].   
Sedangkan ulama Syafi’iyah berpendapat dimakruhkan aborsi ketika usia kandungan belum sampai 40 hari dan mengharamkan ketika usia kandungan lebih dari 40 hari[9].  
Aborsi dalam pandangan ulama baik dalam literatur fiqh klasik maupun kontemporer selalu kontroversial. Begitu juga dikalangan masyarakat. Jika dianalisis, inti atau subtansi penyeban terjadinya perbedaan pendapat tersebut adalah karena berbeda sudut pandang dalam melihat sejak kapan dimulainya suatu kehidupan manusia. Apakah kehidupan itu dimulai sejak konsepsi atau dimulai sejak ditiupkannya ruh.
Sebagian besar ahli fiqh menyakini bahwa tiga tahap perkembangan kandungan seperti yang digambarkan al-Quran yaitu:
ôs)s9ur $oYø)n=yz z`»|¡SM}$# `ÏB 7's#»n=ß `ÏiB &ûüÏÛ ÇÊËÈ   §NèO çm»oYù=yèy_ ZpxÿôÜçR Îû 9#ts% &ûüÅ3¨B ÇÊÌÈ   ¢OèO $uZø)n=yz spxÿôÜZ9$# Zps)n=tæ $uZø)n=ysù sps)n=yèø9$# ZptóôÒãB $uZø)n=ysù sptóôÒßJø9$# $VJ»sàÏã $tRöq|¡s3sù zO»sàÏèø9$# $VJøtm: ¢OèO çm»tRù't±Sr& $¸)ù=yz tyz#uä 4 x8u$t7tFsù ª!$# ß`|¡ômr& tûüÉ)Î=»sƒø:$# ÇÊÍÈ  
 “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu kami bungkus dengan daging. Kemudian kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta yang paling baik”. (Q.S. al-Mu’minun: 12-14)

Kata nuthfah, ‘alaqah dan mudghah[10],bahwa janin ketika itu belum memiliki jiwa manusia tetapi hanya menunjukkan kehidupan ( al-hayah al-nabathiyah). Sesudah itu janin baru dinyatakan memiliki gerakan yang berkemauan atau berkehendak (al-harakah al-iradiyah) sebagai indikasi telah adanya ruh. Sementara ulama yang menolak aborsi menyakini bahwa proses kehidupan itu dimulai sejak konsepsi dan saling berkaitan antara proses kehidupan satu dengan proses kehidupan berikutnya. Begitu juga proses pemberian ruh (nafhki ruh) tidak akan terjadi tanpa melalui proses kehidupan lainnya. Dan bagaimana dengan aborsi yang dilakukan karena pertimbangan-pertimbangan sosial ekonomi, politik maupun dampak psikologis lainnya, sejauh ini belum ada pendapat ulama fiqh yang secara khusus mengkodifikasikannya. Namun pada kasus-kasus tertentu yang dapat menimbulkan hilangnya nyawa manusia  (al-dharurat[11]), aborsi dapat dilakukan tanpa harus melihat usia kehamilan[12]. Karena pada dasarnya keadaan dharurat dapat membolehkan sesuatu yang dilarang  (الضرورات تبيح المحظورات)[13].
Keadaan dharurat ini, juga dapat terjadi pada kasus pemerkosaan. Perempuan dalam keadaan ini pada umumnya mengalami penderitaan jiwa yang bisa menimbulkan penderitaan fisik dan mental, bahkan bisa jadi menghancurkan hidupnya. Maka, pengguguran dalam keadaan ini dipandang lebih ringan dibandingkan kematian. Keadaan dharurat juga terjadi karena adanya anak yang tidak sah yag memerlukan biaya dan orang yang memeliharanya atau mendidiknya. Apalagi, kenyataan pada masyarakat di negara-negara Islam pada umumnya masih belum dapat menerima kehadiran anak yang dilahirkan secara tidak sah. Ini juga berakibat terganggunya kehidupan mereka. Akan tetapi, apabila perempuan yang diperkosa tadi menerima nasibnya dan hal itu tidak menimbulkan akibat buruk bagi jiwa maupun tubuhnya, dia wajib tidak melakukan pengguguran, dia wajib pula mendidiknya agar menjadi anak saleh[14].

D.  Hukuman Bagi Pelaku Aborsi
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa aborsi daam pandangan hukum Islam termasuk perbuatan yang keji dan merupakan suatu kejahatan. Kejahatan yang lengkap unsur-unsurnya dan dilakukan oleh pelaku dalam keadaan sadar dan sengaja, tentu akan mendapatkan hukuman. Sebagaimana dicontohkan Nabi dalam haditsnya:
 عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: أَنَّ امْرَأَتَيْنِ مِنْ هُذَيْلٍ، رَمَتْ إِحْدَاهُمَا الأُخْرَى فَطَرَحَتْ جَنِينَهَا، فَقَضَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيهَا بِغُرَّةٍ، عَبْدٍ أَوْ أَمَةٍ.[15]
“Salah seorang dari dua perempuan bani Huzeil melempar saudaranya (juga dari perempuan bani Huzeil) sehingga gugur kandungannya. Kemudian Rasulullah saw, menghukumnya dengan ghurrah seorang sahaya laki-laki atau perempuan”. (HR. Muslim).

Hadits ini menunjukkan bahwa Nabi, menetapkan wajib ghurrah (denda)[16] pada janin tanpa menjelaskan pada tahap mana ia diwajibkan. Ini berati denda itu diwajibkan karena adanya janin dalam kandungan, walau pun masih berbentuk cairan seperma[17].
Di Indonesia sendiri sanksi bagi pelaku aborsi telah diatur dalam Undang-Undang Kesehatan  Pasal 194, salah satu upaya yang dilakukan oleh pemerintah supaya pelaku aborsi jera. Hukaman tersebut adalah pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak 1 milyar rupiah[18].

III.   Kesimpulan
Pengguguran kandungan pada prinsipnya dilarang. Tetapi untuk keadaan tertentu dengan sejumlah alasan tertentu yang dibenarkan secara medis dan syar’i, maka aborsi dapat dilakukan.















DAFTAR PUSTAKA

Hasbi, Rusli, Fiqh Inovatif Dinamika Pemikiran Ulama Timur Tengah ( Jakarta: Al-Irfan Publishing, 2007).
Mudjib, Abdul, Kaidah-Kaifah Ilmu Fikih (Jakarta: Kalam Mulia, 2010)
Muhammad, Husein, Fiqh Perempuan Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender (Yogyakarta: LkiS, 2001).
Qaradhawi, Yusuf, Fatwa-Fatwa Kontemporer, jilid 2 (Jakarta, Gema Insani, 1995).
-----------------------, Halal dan Haram (Bandung: Jabal, 2007).
Saifullah dalam Problematika Hukum Islam Kontemporer (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2009).
Shihab, M. Quraish, Perempuan Dari Cinta Sampai Seks Dari Nikah Mut’ah Sampai Nikah Sunnah Dari Bias Lama Sampai Bias Baru (Jakarta: Lentera Hati, 2005).
Sholeh, Asrorun Ni’am, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga (Jakarta: eLSAS, 2008).
Wiknjosastro, Gulardi H., dkk, Aborsi Dalam Persperktif Fiqh Kontemporer (Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2002).
Yanggo, Huzaemah Tahido, Masail Fiqhiyah Kajian Hukum Islam Kontemporer (Bandung: Angkasa, 2007).
Penciptaan Manusia Dalam Perspektif Al-Qura’an dan Sains (Jakarta: Kementerian Agma RI, 2012).
Setiawan Budi Utomo dalam, http://www.dakwatuna.com/2009/10/4181/aborsi-perspektif-syariah.
Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.    
                                                                                 


[1]Setiawan Budi Utomo dalam, http://www.dakwatuna.com/2009/10/4181/aborsi-perspektif-syariah.
[2] Huzaemah Tahido Yanggo, Masail Fiqhiyah Kajian Hukum Islam Kontemporer (Bandung: Angkasa, 2007), 192.
[3] M. Quraish Shihab, Perempuan Dari Cinta Sampai Seks Dari Nikah Mut’ah Sampai Nikah Sunnah Dari Bias Lama Sampai Bias Baru (Jakarta: Lentera Hati, 2005), 233.
[4] Saifullah dalam Problematika Hukum Islam Kontemporer (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2009), 131.
[5] Pada umumya wanita melakukan aborsi ini karena didorong beberapa hal diantaranya; pertama, dorongan ekonomi/ dorongan individual. Dorongan ini timbul karena kekhawatiran terhadap kemiskinan, tidak ingin mempunyai keluarga besar, memelihara kecantikan, mempertahankan status sebagai wanita karir dsb. Kedua,  dorongan kecantikan, dorongan ini timbul biasanya bila ada kekhawatiran bahwa janin dalam kandungan akan lahir dalam keadaan cacat akibat radiasi, abat-obatan, keracunan dsb. Ketiga, dorongan moral, dorongan ini muncul biasanya karena wanita yang hamil tidak sangup menerima sanksi sosial dari masyarakat, disebabkan hubungan biologis yang tidak memperhatikan moral dan agama, seperti kumpul kebo atau kehamilan diluar nikah. Keempat, dorongan lingkungan, faktor lingkunga juga mempengaruhi insiden pengguguran kehamilan muda, misalnya sikap dari penolong (dokter, bidan, dukun dll), pemakaian kontrasepsi, norma tentang aktivitas seksual dan hubungan seksual dari luar pernikahan , norma agama dan moral. Lihat Huzaimah Tahido Yanggo, Masail Fiqhiyah Kajian Hukum Islam Kontemporer, 194. Lihat juga Asrorun Ni’am Sholeh, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga (Jakarta: eLSAS, 2008), 167.
[6] Sebagaimana yang telah dikutip oleh Yusuf al-Qaradhawi dari Ibnu Hazm dalam kitab al-Muhalla-nya beliau menganggap tindakan ini sebagai tindakan kejahatan pembunuhan dengan sengaja yang mewajibkan pelakunya menanggung segala resiko, seperti hukum qishash dan lain-lain. Lihat Yusuf Qaradhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, jilid 2 (Jakarta, Gema Insani, 1995), 772.  
[7] Imam Ghazali membedakan antara mencegah kehamilan dan pengguguran kandungan. Ia berkata, mencegah kehamilan tidak sama dengan pengguguran dan pembunuhan. Sebab apa yang disebut pembunuhan atau pengguguran yaitu suatu tindakan kriminal terhadap manusia yang sudah ujud, sedang ujudnya anak itu sendiri bertahap. Tahap pertama yaitu bersarangnya sperma dalam rahim dan bercampur dengan air perempuan dan dia siap menghadapi kehidupan. Merusaknya berarti suatu tindak kriminal. Jika seperma ini sudah menjadi darah, maka tindak kriminal dalam hal ini lebih kejam. Jika telah ditiupkan roh dan sudah sempurna kejadiannya, maka tindak kriminal dalam soal ini lebih kejam lagi. Sikap paling keji dalam soal kriminal ini, ialah apabila si anak tersebut telah lahir dan dalam keadaan hidup Lihat  Yusuf Qaradhawi, Halal dan Haram (Bandung: Jabal, 2007), 209
[8] Huzaimah Tahido Yanggo, Masail Fiqhiyah Kajian Hukum Islam Kontemporer. 195.   
[9] Gulardi H. Wiknjosastro, dkk, Aborsi Dalam Persperktif Fiqh Kontemporer (Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2002), 219. Di Indonesian sendiri Dalam kaitan ini Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa tentang hukum aborsi sebagai respon pertanyaan masyarakat. Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 4 Tahun 2005, tentang Aborsi menetapkan ketentuan hukum Aborsi sebagai berikut; Pertama, Aborsi haram hukumnya sejak terjadinya implantasi blastosis pada dinding rahim ibu (nidasi). Kedua, Aborsi dibolehkan karena adanya uzur, baik yang bersifat darurat ataupun hajat. Darurat adalah suatu keadaan di mana seseorang apabila tidak melakukan sesuatu yang diharamkan maka ia akan mati atau hampir mati. Sedangkan Hajat adalah suatu keadaan di mana seseorang apabila tidak melakukan sesuatu yang diharamkan maka ia akan mengalami kesulitan besar. Lihat Setiawan Budi Utomo dalam, http://www.dakwatuna.com/2009/10/4181/aborsi-perspektif-syariah.
[10] Sebagaimana telah dijelaskan dalam al-Quran surat al-Mu’minun: ayat 13 ada tiga tahapan pembentukan manusia yaiut: Pertama; Nutfah (air mani), kata nutfah yang berarti sedikit air atau setetes air, jelas mendeskripsikan air yang sedikit yang dipancarkan lelaki saat bersenggama. Air yang sedikit itu mengandung sperma. Sperma atau spermatozoa terdapat di dalam “air yang menjijikkan” dalam bentuk ikan berekor panjang (sulalah), sebagaimana dalam surat as-Sajadah: ayat 8. Kedua; ‘Alaqah, yang berbentuk seperti lintah, benda yang tersambung atau segumpal darah. ‘Alaqah merupakan bentuk praembrionik yang terjadi setelah percampuran sperma dan ovarium. K.L. Moore dan Abdul Majeed Azzindari dalam bukunya The Developing Human:  Clinically Oriented Embryology, with Islamic Additions, Correlation Studies with Qur’an and Hadith, mengemukakan penjelasan yang cukup bagus tentang ‘alaqah. ‘Alaqah kata keduanya, dalam bahasa Arab berarti lintah (leech), suatu suspensi (suspended thing), atau segumpal darah (a clot of blood). Lintah merupakan binatang tingkat rendah, berbentuk seperti buah pir dan hidup dengan menghisap darah. Ternyata sifat dalam bentuk ini dapat diterapkan pada ‘alaqah. Jadi, ‘alaqah adalah suatu stadium embrionik yang berbentuk seperti buah pir, ketika sistem cardiovaskular (sistem pembuluh jantung) sudah mulai tampak dan hidungnya tergantung pada darah ibunya. ‘Alaqah terbentuk sekitar 24-25 hari sejak pembuahan. Jika jaringan praembrionik ini digugurkan maka ia akan tampak seperti segumpal darah. Transformasi dari nutfah menjadi ‘alaqah berlangsung sekitar 10 hari, diakhiri terbentuknya zigot yang menempel pada dinding rahim dengan plasenta primitif yang dinamakan umbilical cord. Ketiga; Mudghad, tahapan mudghad ditandai dengan bermulanya perkembangan dan pembiakan sel yang laur biasa. Segumpal daging ini terdiri dari sel-sel atau jaringan-jaringan yang sudah maupun yang belum mengalami diferensiasi (seperti terbentuknya mata, bibir, tangan, kaki), dan tahapan mudghad berakhir pada minggu ke-6, kurang lebih pada hari ke-40. Lihat dalam Penciptaan Manusia Dalam Perspektif Al-Qura’an dan Sains (Jakarta: Kementerian Agma RI, 2012) 81.                    
[11] Para peneliti dan pakar hukum Islam sepakat memposisikan aborsi sama dengan dharurat, yaitu dharurat dalam konteks syar’i. Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi agar dharurat dapat digolongkan ke dalam konteks syar’i antara lain: Pertama; Dharurat merupakan tindakan penyelamatan diri (Hifzunnafsi) akibat timbulnya kekhawatiran yang mendalam jika hal tersebut tidak dilakukan akan menimbulkan rusaknya salah satu bagian dari Maqashid asy-Syariah yang wajib dijaga menurut syar’i. Kedua; Dharurat tidak berhubungan dengan perbuatan maksiat. Larangan seorang untuk melakukan perbuatan maksiat dalam kondisi dharurat lebih dilandasi pada sikap at-tasamuh (toleransi) dan rukhshah (dispensasi) yang diberikan oleh Allah SWT, kepada manusia, karena itu tidak diperkenankan rukhshah dalam perbuatan maksiat. Ketiga; Dharurat merupakan satu-satunya alasan yang dapat menghilangkan kesulitan bagi orang yang sedang berada dalam masalah. Keempat; Rukhshah hanya boleh digunakan dalam keadaan terdesak saja atau untuk mencegah terjadinya  kemadharatan. Kelima; Jika dapat diyakini bahwa orang yang berada dalam kondisi dharurat akan terkena bahaya jika tidak mengambil jalan dharurat. Keenam; Dharurat tidak melanggar hak orang lain atau melanggar hal-hal yang telah dilarang oleh agama. Ketujuh; Kerusakan yang timbul akibat meninggalkan perbuatan yang dilarang lebih besar dari pada kerusakan yang timbul karena melakukannya. Lihat: Rusli Hasbi, Fiqh Inovatif Dinamika Pemikiran Ulama Timur Tengah ( Jakarta: Al-Irfan Publishing, 2007), 14.
[12] Lihat majalah Al-Buhuts al-Mu’ashirah, Kajian Fiqh kontemporer, Riyadh, dalam buku, Husein Muhammad, Fiqh Perempuan Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender (Yogyakarta: LkiS, 2001), 166.       
[13] Abdul Mudjib, Kaidah-Kaifah Ilmu Fikih (Jakarta: Kalam Mulia, 2010), 36. 
[14] Gulardi H. Wiknjosastro, dkk, Aborsi Dalam Persperktif Fiqh Kontemporer, 166. Lihat juga Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, pasal 75 ayat 2 bagian b, bahwa aborsi boleh dilakukan pada kehamilan akibat pemerkosaan.
[15] Imam Muslim, Sahih Muslim, Tahkik Muhammad Fuad Abdul Baqy (Bairut: Dar Ihya’ at-Turas, tth), 1309.
[16] Ghurrah (denda) dapat diartikan sebagai diyat (tebusan), kifarah (ganti rugi) dan ta’zir (hukuman) . hukuman tersebut diberikan dengan melihat usia kandungan saat melakukan aborsi.
[17] Saifullah dalam Problematika Hukum Islam Kontemporer. 145.
[18] Lihat, Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar