I.
PENDAHULUAN
Air Susu Ibu
(ASI) merupakan makanan yang terbaik bagi bayi, karena pengolahannya telah
berjalan secara alami dalam tubuh si ibu. Sebelum anak lahir, makanannya telah
disiapkan lebih dahulu, sehingga begitu anak itu lahir, air susu ibu telah siap
untuk dimanfaatkan. Demikian kasih sayang Allah terhadap makhluk-Nya. Namun
demikian ada banyak kaum ibu pada saat ini yang tidak dapat memberikan ASI
kepada anaknya dengan berbagai alasan seperti ASI-nya tidak keluar, alasan
kesehatan serta karena waktunya tersita untuk bekerja, maka muncullah gagasan
untuk mendirikan Bank ASI untuk memenuhi kebutuhan ASI balita yang ibunya tidak
bisa menyusui anaknya secara langsung.
Gagasan untuk mendirikan bank ASI
ini sebenarnya telah berkembang di Eropa kira-kira lima puluh tahun yang lalu.
Gagasan itu muncul setelah adanya bank darah. Mereka melakukannya dengan
mengumpulkan ASI dari wanita dan membelinya kemudian ASI tersebut dicampur di
dalam satu tempat untuk menunggu orang yang membeli ASI tersebut dari mereka.
Permasalahan ini cukup menarik untuk dikaji melalui hukum Islam. Pentingnya
melakukan kajian tersebut, karena sebagaimana yang diketahui bahwa dalam Islam
ada istilah yang disebut sebagai saudara sesusu. Apakah bank ASI ini juga
mengakibatkan terjadinya saudara sesusuan, semuanya akan diketahui melalaui
kajian berikut.
II.
PEMBAHASAN
A. Surat al-Baqarah; 233
* ßNºt$Î!ºuqø9$#ur z`÷èÅÊöã £`èdy»s9÷rr& Èû÷,s!öqym Èû÷ün=ÏB%x. ( ô`yJÏ9 y#ur& br& ¨LÉêã sptã$|ʧ9$# 4 n?tãur Ïqä9öqpRùQ$# ¼ã&s! £`ßgè%øÍ £`åkèEuqó¡Ï.ur Å$rã÷èpRùQ$$Î/ 4 w ß#¯=s3è? ë§øÿtR wÎ) $ygyèóãr 4 w §!$Òè? 8ot$Î!ºur $ydÏ$s!uqÎ/ wur ×qä9öqtB ¼çm©9 ¾ÍnÏ$s!uqÎ/ 4 n?tãur Ï^Í#uqø9$# ã@÷VÏB y7Ï9ºs 3 ÷bÎ*sù #y#ur& »w$|ÁÏù `tã <Ú#ts? $uKåk÷]ÏiB 9ãr$t±s?ur xsù yy$oYã_ $yJÍkön=tã 3 ÷bÎ)ur öN?ur& br& (#þqãèÅÊ÷tIó¡n@ ö/ä.y»s9÷rr& xsù yy$uZã_ ö/ä3øn=tæ #sÎ) NçFôJ¯=y !$¨B Läêøs?#uä Å$rá÷èpRùQ$$Î/ 3 (#qà)¨?$#ur ©!$# (#þqßJn=ôã$#ur ¨br& ©!$# $oÿÏ3 tbqè=uK÷ès? ×ÅÁt/ ÇËÌÌÈ
“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun
penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah
memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak
dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu
menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan
warispun berkewajiban demikian. apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua
tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas
keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada
dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah
kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu
kerjakan”.
معنى المفردات
:
1. { الوالدات } : para
ibu
{ حَوْلَيْنِ } : dua tahun
2. { المولود لَهُ } : ayah
3. { فِصَالاً } : menghentikan anaknya dari penyusuan
4. { تسترضعوا } : menginginkan
anaknya untuk disusukan orang lain
استنباط الأحكام :
1. Hukum menyusui anak bagi seorang ibu
Dalam hal ini sebagian ulama
pendapat bahwasanya hukum bagi seorang ibu dalam menyusui anaknya adalah
wajib.Hal ini sebagaimana yang telah dikatakan dalam al qur’an :
ßNºt$Î!ºuqø9$#ur z`÷èÅÊöã £`èdy»s9÷rr&
“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya”
Dari ayat di atas mengandung kalimat perintah - menyusui bagi ibu
terhadap anaknya- dalam bentuk berita.Dalam mazhab maliki perintah wajib
menyusui bagi ibu berlaku jika dia masih berstatus istri (belum bercerai) atau
ketiadaan suami.Adapun perempuan yang ditalak bain maka kewajiban tersebut
jatuh kepada suaminya (yang mencerai).[2]
2. Kadar tempo menyusui anak bagi seorang ibu
Tidak ada kadar waktu wajib bagi seorang ibu dalam menyusui
anaknya.Boleh dia menyusui anaknya lebih dari dua tahun atau kurang dari
itu.Namun idealnya bagi seorang ibu dalam hal itu adalah selama dua tahun.hal
ini berdasarkan firman Allah di atas yang berbunyi :
لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُـتِمَّ الـرَّضَاعَة
“Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan susuan”
Hal ini menunjukkan bahwa waktu 2 tahun itu bukan harga mati, namun
bisa lebih pendek dari
itu, tak ada batasan pasti, tergantung dari kemaslahatan bagi anak dan ibunya
maupun pola makannya.[3]
3.penyusuan
yang menjadikan mahram
Menurut Pendapat Imam Malik, Syafi’i dan Ahmad waktu penyusuan yang
menjadikan anak itu haram dengan yang menyusuinya adalah selama belum lebih
dari dua tahun.Jikalau seseorang menyusui seorang bayi yang berumur lebih dua
tahun maka dia tidak bisa dikatakan sebagia anak susuannya.[4]hal
ini berdasarkan firman Allah di atas yang berbunyi :
ßNºt$Î!ºuqø9$#ur
z`÷èÅÊöã
£`èdy»s9÷rr&
Èû÷,s!öqym
Èû÷ün=ÏB%x.
Dan
pendapat itu juga senada dengan hadis yang berbunyi :
لا رضاع إلا ما كان في حولين
رواه الدارقطني
“Tidak ada penyusuan kecuali sibayi berumur
dalam dua tahun”
4. Kewajiban nafkah
Wajib atas orang yang diberikan kepadanya seorang anak (baik ia
adalah suami bagi ibu anak tersebut atau yang lainnya) untuk memberikan nafkah
kepada ibu yang menyusui anaknya tersebut. dhahirnya ayat menunjukkan bahwa hal
itu tidak dibedakan antara ibu yang menyusui tersebut adalah sebagai istri yang
masih terikat dalam hubungan pernikahan atau istri yang telah dithalak ba’in.
Jika dia adalah masih dalam ikatan pernikahan maka nafkah melalui
dua jalan atau sebab, melalui dia sebagai istri (yang wajib bagi suami
menafkahinya) dan dari sebab menyusui. Dan apabila dia telah di thalak ba’in
maka nafkah hanya melalui satu sebab yaitu sebab menyusui. Dan kewajiban nafkah
tersebut sesuai kondisi kemampuan suami.[5]
5.maksud dari ahli waris
وَ عَلَى الْـوَارِثُ مِثْلُ ذلِكَ
“Dan
warispun berkewajiban demikian”
Ibnu Katsir rahimahullah menyebutkan: Ada yang mengatakan, tidak
boleh menimpakan madlarat kepada kerabatnya. Seperti dikatakan oleh Mujahid,
asy-Sya`bi dan adl-Dlohhak, Ada juga yang mengatakan kepada ahli waris
diwajibkan pula seperti yang diwajibkan kepada ayah bayi itu. Yaitu memberikan
nafkah kepada ibu si bayi serta memenuhi semua hak-haknya serta tidak
mencelakakannya. Demikian menurut jumhur `ulama. Ibnu Jarir ath Thabari secara
panjang lebar membahas dalam kitab Tafsirnya. Hal ini dijadikan dalil oleh
pengikut madzhab Hanafi fan Hanbali yang mewajibkan pemberian nafkah kepada
kaum kerabat, sebagian atas sebagian yang lain.[6]
B.
Surat
an-Nisa: 23
ôMtBÌhãm öNà6øn=tã öNä3çG»yg¨Bé& öNä3è?$oYt/ur öNà6è?ºuqyzr&ur öNä3çG»£Jtãur öNä3çG»n=»yzur ßN$oYt/ur ËF{$# ßN$oYt/ur ÏM÷zW{$# ãNà6çF»yg¨Bé&ur ûÓÉL»©9$# öNä3oY÷è|Êör& Nà6è?ºuqyzr&ur ÆÏiB Ïpyè»|ʧ9$# àM»yg¨Bé&ur öNä3ͬ!$|¡ÎS ãNà6ç6Í´¯»t/uur ÓÉL»©9$# Îû Nà2Íqàfãm `ÏiB ãNä3ͬ!$|¡ÎpS ÓÉL»©9$# OçFù=yzy £`ÎgÎ/ bÎ*sù öN©9 (#qçRqä3s? OçFù=yzy ÆÎgÎ/ xsù yy$oYã_ öNà6øn=tæ ã@Í´¯»n=ymur ãNà6ͬ!$oYö/r& tûïÉ©9$# ô`ÏB öNà6Î7»n=ô¹r& br&ur (#qãèyJôfs? ú÷üt/ Èû÷ütG÷zW{$# wÎ) $tB ôs% y#n=y 3 cÎ) ©!$# tb%x. #Yqàÿxî $VJÏm§ ÇËÌÈ
“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang
perempuan[7],
saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan;
saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari
saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu
yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan;
ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari
isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu
itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan
diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan
(dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi
pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”
معنى المفردات :
1 حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ
diharamkan atas kamu menikahi :
2 وَخَالَاتُكُمْ saudara-saudara ibumu yang
perempuan :
3 وَأُمَّهَاتُكُمُ
اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ ibu –
ibu yang menyusui kamu :
4 وَأَخَوَاتُكُمْ
مِنَ الرَّضَاعَةِ saudaramu sesusu :
5 وَرَبَائِبُكُمُ
اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ
anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah
kamu campuri:
6
فَلَا جُنَاحَ
عَلَيْكُمْ maka tidak berdosa kamu mengawininya :
7 وَحَلَائِلُ أَبْنَائِكُمُ
الَّذِينَ مِنْ أَصْلَابِكُمْ isteri-isteri anak kandungmu (menantu):
8 إِلَّا
مَا قَدْ سَلَفَ kecuali
yang telah terjadi pada masa lampau :
استنباط الأحكام :
Di dalam ayat di atas terkandung pengharaman nikah seseorang kepada
mahramnya yang mana hal ini dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian yaitu haram
karena keturunan,haram karena penyusuan,haram karena مصاهرة
(seperti antara suami dengan ibu atau anak
istri).[8]
1. Haram nikah karena keturunan
Diharamkan bagi seseorang menikahi tujuh orang dari perempuan
dikarenakan adanya status keturunan yaitu : ibu hingga ke atas,anak perempuan
hingga ke bawah,saudari,bibi dari ayah, bibi dari ibu,anak perempuan dari saudara
dan anak perempuan dari saudari.[9]
2. Haram nikah karena penyusuan
Diharamkan menikah dikarenakan adanya status penyusuan sebagaimana
hadis yang berbunyi :
يحرم من الرضاع ما يحرم من النسب[10]
Diharamkannya yang dikarenakan penyusuan sama seperti halnya diharamkannya
karena keturunan. Maka dari sini jika seseorang yang telah menjadi anak dari
susuan maka dia dharamkan menikahi ibu susuannya,dan seperti perempuan lainnya
yang haram karena keturunan.[11]
3. haram nikah karena مصاهرة
Dalam hal ini ada empat permpuan yang diharamkan menikahinya :
1. istri ayah : وَلَا تَنْكِحُوا مَا
نَكَحَ آبَاؤُكُمْ مِنَ النِّسَاءِ
2.istri anak : وَحَلَائِلُ أَبْنَائِكُمُ
الَّذِينَ مِنْ أَصْلَابِكُمْ
3. ibu istri : وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ
4. anak istri ( yang sudah digauli ):
وَرَبَائِبُكُمُ
اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ
لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ
عَلَيْكُمْ
Dari bagian 1
sampai 3 jatuh keharaman menikahinya jika telah terjadinya akad nikah contohnya
seseorang yang menikahi perempuan lalu dia menginginkan ibunya maka hal ini
tidak diperbolehkan dalam Islam. Berbeda sebalik di bagian 4 jika seseorang
telah menikahi perempuan (belum menggaulinya) maka boleh dia memilih anaknya.[12]
Haramnya menikahi seorang perempuan berdasarkan tempo
Dalam hal ini ada dua macam yaitu
mengumpulkannya dengan saudarinya dan menikahi istri orang lain.
1.Mengumpulkannya dengan saudaranya
Berdasarkan ayat diatas an nisa 23 seseorang diharamkan menikahi
perempuan beserta saudarinya.Dan begitu pula mengumpulkannya dengan bibinya
sebagaimana hadis yang berbunyi :
لا
يجمع بين المرأة وعمتها ولا بين المرأة وخالتها [13]
“Hendaklah seseorang untuk tidak mengumpulkan perempuan dengan bibi
dari ayahnya atau dari ibunya”.
2.Istri orang lain
Di haramkan bagi seseorang
menikahi istri orang lain sebagaimana firman Allah swt :
وَالْمُحْصَنَاتُ
مِنَ النِّسَاءِ
“Dan (diharamkan pula menikahi) perempuan yang sudah bersuami”.
Demikian juga diharamkan
menikahi perempuan yang masih berada dalam iddahnya[14]
sebagaimana firman Allah swt :
وَلَا
تَعْزِمُوا عُقْدَةَ النِّكَاحِ حَتَّى يَبْلُغَ الْكِتَابُ أَجَلَهُ[15]
“Dan janganlah kamu menetapkan akad nikah sebelum habis masa
iddahnya”.
C. Al Muharamat Karena Penyusuan
Secara
etimologi radha’ah berarti suatu nama untuk isapan atau sedotan air susu
dari al-sadyu (susu), baik susu manusia maupun susu binatang. Karena
titik berat daam pengertian lugawi in terletak pada isapan al-sadyu,
maka jika air susu itu diperah kemudian diminumkan kepada seseorang, hal
tersebut tidak dinamakan radha’ah. Dalam pengetian lugawi ini juga tidak
disyaratkan besar kecilnya orang yang menyusu. Dengan kata lain, siapa pun yang
menyusu, dewasa maupun bayi, kepada manusia atau binatang, dinamakan radha’ah.
Namun ketika istilah radha’ah dipakai di dalam hukum Islam, maka
pengertiannya dapat dirumuskan sebagai berikut:
وُ صُوْ لُ لَبَنِ آدَ مِيّةٍ
إِلَى جَوْفِ طِفْلٍ
“Sampainya
air susu manusia ke dalam kerongkongan anak-anak”[16].
Radha’ah (penyusuan)[17]
yang selama ini menjadi acuan syara’ dalam menetapkan pengharaman (perkawinan),
menurut jumhur fuqaha termasuk tiga orang imam mazhab, yaitu Imam Abu Hanifah,
Imam Malik, dan Imam Syafi’i, ialah segala sesuatu yang sampai ke perut bayi
melalui kerongkongan atau lainnya, denga cara menghisap atau lainnya, seperti
dengan al-wajur (yaitu menuangkan air susu lewat mulut kekrongkongan),
bahkan mereka samakan pula dengan jal as-sa’uth yaitu menuangkan air
susu kehidung (lantas kekrongkongan) dan ada pula yang berlebihan dengan
menyamakannya dengan suntikan lewat dubur (anus)[18].
Apabila
diperhatikan pengertian radha’ah di atas, tidak ditemukan batasan
tertentu tentang usia anak yang menyusu. Namun demikian, para fuqaha telah
sepakat berpendapat bahwa usia anak yang menyusu yang dapat menjadi penghalang
pernikahan adalah usia dua tahun. Karena itu, Imam Malik, Abu Hanafiyah,
Syafi’i, dan sejumlah ulama lainnya, berpendapat bahwa penyusuan anak yang
besar (dewasa) tidak menyebabkan keharaman pernikahan[19].
Sebagaimana
pendapat Ibnu Abbas r.a. yang diriwayatkan oleh Daruquthni dan Ibnu adiy secara
tegas mengatakan[20]:
لَا رَ ضَا عَ إلّافِى حَوْلَيْنِ
“Tidak ada susuan kecuali dalam usia dua tahun”
Dan
dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud disebutkan:
لَارَضَا عَ إلّامَا أَ نْشَزَ اْلعَظُمَ وَأَ نْبَتَ الّلحْمَ
“Tidak ada susuan kecuali sesuatu yang dapat memperkuat tulang
dan menumbuhkan daging”
Sayyid
Sabiq menjelaskan hadits ini dengan mengatakan bahwa kuatnya tulang dan
tumbuhnya daging tersebut terjadi pada anak usia dua tahun. Tulang dan daging
itu tumbuh dengan air susu pada usia tersebut.
Berbeda dengan Madzhab Syafi'i dan
Hanbali mengatakan bahwa susuan yang mengharamkan adalah jika telah melewati 5
kali susuan secara terpisah. Hal ini berdasarkan hadits Aisyah ra, bahwasanya
beliau berkata[21]:
كَانَ فِيمَا أُنْزِلَ مِنْ الْقُرْآنِ عَشْرُ رَضَعَاتٍ
مَعْلُومَاتٍ يُحَرِّمْنَ ثُمَّ نُسِخْنَ بِخَمْسٍ مَعْلُومَاتٍ فَتُوُفِّيَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُنَّ فِيمَا يُقْرَأُ مِن
الْقُرْآنِ
"Dahulu dalam Al Qur`an
susuan yang dapat menyebabkan menjadi mahram ialah sepuluh kali penyusuan,
kemudian hal itu dinasakh (dihapus) dengan lima kali penyusuan saja. Lalu
Rasulullah saw wafat, dan ayat-ayat Al Qur`an masih tetap di baca seperti itu."
(HR Muslim)
Kapan seorang bayi menyusui dan
dianggap sebagai satu susuan, Yaitu jika dia menyusui, setelah kenyang dia
melepas susuan tersebut menurut kemauannya. Jika dia menyusu lagi setelah satu
atau dua jam, maka terhitung dua kali susuan dan seterusnya sampai lima kali
menyusu. Kalau si bayi berhenti untuk bernafas, atau menoleh kemudian menyusu
lagi, maka hal itu dihitung satu kali susuan saja.
Para ulama berbeda pendapat tentang
tata cara menyusu yang bisa mengharamkan. Mayoritas ulama mengatakan bahwa yang
penting adalah sampainya air susu tersebut ke dalam perut bayi, sehingga
membentuk daging dan tulang, baik dengan cara menghisap puting payudara dari
perempuan langsung, ataupun dengan cara as-su'uth (memasukkan susu ke
lubang hidungnya), atau dengan cara al-wujur (menuangkannya langsung ke
tenggorakannya), atau dengan cara yang lain[22]
D. Hukum Susuan Lewat Bank ASI Dalam Kaitannya Dengan Mahram
1.
Pengertian Bank Asi
Bank ASI merupakan tempat penyimpanan dan penyalur ASI dari donor ASI yang
kemudian akan diberikan kepada ibu-ibu yang tidak bisa memberikan ASI sendiri
ke bayinya. Ibu yang sehat dan memiliki kelebihan produksi ASI bisa menjadi
pendonor ASI. ASI biasanya disimpan di dalam plastik atau wadah, yang
didinginkan dalam lemari es agar tidak tercemar oleh bakteri. Kesulitan para
ibu memberikan ASI untuk anaknya menjadi salah satu pertimbangan mengapa bank
ASI perlu didirikan, terutama di saat krisis seperti pada saat bencana yang
sering membuat ibu-ibu menyusui stres dan tidak bisa memberikan ASI pada
anaknya[23].
Semua ibu donor diskrining dengan hati-hati. Ibu donor harus memenuhi
syarat, yaitu non-perokok, tidak minum obat dan alkohol, dalam kesehatan yang
baik dan memiliki kelebihan ASI. Selain itu, ibu donor harus memiliki tes darah
negatif untuk Hepatitis B dan C, HIV 1 dan 2, serta HTLV 1 dan 2, memiliki
kekebalan terhadap rubella dan sifilis negatif. Juga tidak memiliki riwayat penyakit TBC aktif, herpes atau kondisi kesehatan kronis lain seperti multiple sclerosis
atau riwayat kanker. Berapa lama ASI dapat bertahan sesuai dengan suhu
ruangannya:
a.
Suhu 19-25 derajat
celsius ASI dapat tahan 4-8 jam.
b.
Suhu 0-4 derajat
celsius ASI tahan 1-2 hari
c.
Suhu dalam freezer
khusus bisa tahan 3-4 bulan[24].
2.
Hukum
Jual Beli Asi
Air Susu Ibu
(ASI) adalah bagian yang mengalir dari anggota tubuh manusia, dan tidak
diragukan lagi itu merupakan karunia Allah bagi manusia dimana dengan adanya
ASI tersebut seorang bayi dapat memperoleh gizi. ASI tersebut merupakan sesuatu
hal yang urgen di dalam kehidupan bayi. Karena pentingnya ASI tersebut untuk
pertumbuhan maka sebagian orang memenuhi kebutuhan tersebut dengan membeli ASI
pada orang lain. Jual beli ASI manusia itu sendiri di dalam fiqih Islam
merupakan cabang hukum yang para ulama berbeda pendapat di dalamnya. Ada dua
pendapat ulama tentang hal tersebut[25].
Pertama,
tidak boleh menjualnya. Ini merupakan pendapat ulama madzhab Hanafi kecuali Abu
Yusuf, salah satu pendapat yang lemah pada madzhab Syafi'i dan merupakan
pendapat sebagian ulama Hanbali. Kedua, pendapat yang mengatakan
dibolehkan jual beli ASI manusia. Ini merupakan pendapat Abu Yusuf (pada susu
seorang budak), Maliki dan Syafi'i, Khirqi dari madzhab Hanbali, Ibnu Hamid,
dikuatkan juga oleh Ibnu Qudamah dan juga madzhab Ibnu Hazm[26].
3.
Timbulnya Perbedaan Pendapat
dikalangan Ulama
Menurut Ibn
Rusyd, sebab timbulnya perselisihan pendapat ulama di dalam hal tersebut adalah
pada boleh tidaknya menjual ASI manusia yang telah diperah. Karena proses
pengambilan ASI tersebut melalui perahan. Imam Malik dan Imam Syafi'i
membolehkannya, sedangkan Abu Hanifah tidak membolehkannya. Alasan mereka yang
membolehkannya adalah karena ASI itu halal untuk diminum maka boleh menjualnya
seperti susu sapi dan sejenisnya. Sedangkan Abu Hanifah memandang bahwa hukum
asal dari ASI itu sendiri adalah haram karena dia disamakan seperti daging
manusia[27].
Maka karena daging manusia tidak boleh memakannya maka tidak boleh menjualnya.
4.
Hukum
Mendirikan Bank Asi
Bahwa di
dalam pembolehan menjual ASI itu ada kemungkaran karena bisa menimbulkan
rusaknya pernikahan yang disebabkan kawinnya orang sesusuan dan hal tersebut
tidak dapat diketahui jika antara lelaki dan wanita meminum ASI yang dijual
bank ASI tersebut[28].
Namun, ada juga yang berpendapat bahwa menjual ASI tersebut membawa manfaat
bagi manusia yaitu tercukupinya gizi bagi bayi karena kita melihat bahwa banyak
bayi yang tidak memperoleh ASI yang cukup baik karena kesibukan sang ibu
ataupun karena penyakit yang diderita ibu tersebut. Tetapi pendapat tersebut
dapat ditolak karena kemudaratan yang ditimbulkan lebih besar dari manfaatnya
yaitu terjadinya percampuran nasab. Padahal Islam menganjurkan kepada manusia
untuk selalu menjaga nasabnya. Kaidah ushul juga menyebutkan bahwa:
دَفْعُ الضَّرَارِ اَوْلَى مِنْ جَلْبِ الْمَصَالِحِ
Menolak kemadharatan lebih utama
dari pada menarik kemaslahatan.
Ibnu Sayuti
di dalam kitab Asybah Wa Nadhaair menyebutkan bahwa di dalam kaidah
disebutkan bahwa diantara prinsip dasar Islam adalah :
اَلضَّرَارُ لاَ يُزَالُ بِالضَّرَارِ
Kemudaratan itu tidak dapat
dihilangkan dengan kemudaratan lagi.
Hal ini
jelas, karena akan menambah masalah. Kaitannya dengan pembahasan kita yaitu,
ketiadaan ASI bagi seorang bayi adalah suatu kemudaratan, maka memberi bayi
dengan ASI yang dijual di bank ASI adalah kemudaratan pula. Maka apa yang
tersisa dari bertemunya kemudaratan kecuali kemudaratan[29].
Karena Fiqih bukanlah pelajaran fisika dimana bila bertemu dua kutub yang sama
akan menghasilkan hasil yang berbeda. Maka penulis sependapat bahwa hendaknya
kita melihat mana yang lebih besar manfaatnya daripada kerusakannya.
5.
Ulama
yang Membolehkan Bank Asi
Sebagian
ulama kontemporer membolehkan pendirian bank ASI ini, diantara mereka adalah
Dr. Yusuf al-Qardhawi. Mereka beralasan[30]:
a. Bahwa kata
kata radha'(menyusui) di dalam bahasa Arab bermakna menghisap puting
payudara dan meminum ASI-nya. Maka oleh karena itu meminum ASI bukan melalui
menghisap payudara tidak disebut menyusui, maka efek dari penyusuan model ini
tidak membawa pengaruh apa-apa di dalam hukum nasab nantinya.
b. Yang
menimbulkan adanya saudara sesusu adalah sifat "keibuan", yang
ditegaskan Al-Qur'an itu tidak terbentuk semata-mata diambilkan air susunya,
tetapi karena menghisap teteknya dan selalu lekat padanya sehingga melahirkan
kasih sayang si ibu dan ketergantungan si anak. Dari keibuan ini maka muncullah
persaudaraan sepersusuan. Jadi, keibuan ini merupakan asal (pokok), sedangkan
yang lain mengikutinya.
c. Alasan yang
dikemukakan oleh beberapa madzhab dimana mereka memberi ketentuan berapa kali
penyusuan terhadap seseorang sehingga antara bayi dan ibu susu memilki ikatan
yang diharamkan nikah, mereka mengatakan bahwa jika si bayi hanya menyusu
kurang dari lima kali susuan maka tidaklah membawa pengaruh di dalam hubungan
darah[31].
III.
KESIMPULAN
Perbedaan
pandangan ulama terhadap beberapa masalah penyusuan mengakibatkan mereka
berbeda pendapat di dalam menyikapi munculnya Bank Asi sebagaimana berikut :
Pendapat
Pertama menyatakan bahwa mendirikan bank ASI hukumnya boleh. Salah satu
alasannya: Bayi tidak bisa menjadi mahram bagi ibu yang disimpan ASI-nya di
bank ASI. Karena susuan yang mengharamkan adalah jika dia menyusu langsung.
Sedangkan dalam kasus ini, sang bayi hanya mengambil ASI yang sudah dikemas.
Pendapat
Kedua menyatakan hukumnya haram. Menimbang dampak buruknya menyebabkan
tercampurnya nasab. Dan mengikuti pendapat jumhur yang tidak membedakan antara
menyusu langsung atau lewat alat.
Pendapat
Ketiga menyatakan bahwa pendirian Bank ASI dibolehkan jika telah memenuhi
beberapa syarat yang sangat ketat, diantaranya: setiap ASI yang dikumpulkan di
Bank ASI, harus disimpan di tempat khusus dengan meregistrasi nama pemiliknya
dan dipisahkan dari ASI-ASI yang lain. Setiap bayi yang mengkonsumsi ASI
tersebut harus dicatat detail dan diberitahukan kepada pemilik ASI, supaya
jelas nasabnya. Dengan demikian, percampuran nasab yang dikhawatirkan oleh para
ulama yang melarang bisa dihindari.
DAFTAR
PUSTAKA
Al Baghdadi, Abdurrahman , Emansipasi Adakah Dalam Islam,
(Jakarta: Gema Insani Press, 1998)
Ashobuni, M. Ali, Tafsir Ayatul Ahkam (Damasykus: Maktabah Gozali, 1980)
Assa’ady, Abdurahman, Taisirul Karim (Muassasah
Risalah, 2000)
Araby, Ibnu, Ahkamul Qur’an (Beirut: Darul Kutub Ilmiah, 2003)
Anshary AZ, Chuzaimah T. Yanggo dan Hafiz, Problematika
Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2009)
Bukhari, Imam, Shohih bukhari, Dar Tuq Najah, tth.)
Khan, Sayyid
Muhammad Shiddiq, Tafsir Fathul Qadir, I/301 ( Husnul Uswah, tth.)
Katsir, Ibnu, Tafsir al-Quran, (Dar Tayyibah, tth)
Mahjuddin, Masailul Fiqhiyah: Berbagai Kasus yang Dihadapi Hukum
Islam Masa Kini, ( Jakarta: Kalam Mulia, 2003)
Muslim, Imam, Shohih Muslim ( Dar Ihya Turast, tth.)
Sabiq, Sayyid, Fiqh Sunnah (Bairut: Dar al Fikr, 1983)
Shabuni, Muhammad Ali, Tafsir Ayatul Ahkam (Darul Qutub Islamiyah
tth.)
Uwaidah, Kamil Muhammad, Fiqih Wanita,
terj. M. Abdul Ghoffar (Jakarta: Pustaka Al-kautsar, 1998)
Qaradhawi, Yusuf, Fatwa-Fatwa Kontemporer 2,
terj. As’ad Yasin (Jakarta: Gema Insani, 1995)
Uman, Cholil, Agama Menjawab
Tentang Berbagai Masalah Abad Modern,
(Surabaya: Ampel Suci, 1994)
Zallum, Abdul Qadim,, Beberapa Problem Kontemporer
Dalam Pandangan Islam : Kloning, Transplantasi Organ, Abortus, Bayi Tabung,
Penggunaan Organ Tubuh Buatan, Definisi Hidup dan Mati, (Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada, 2003)
Zuhdi, Masjfuk,
, Masail Fiqhiyah: Kapita Selekta Hukum Islam, (Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada, 2000)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar