Sabtu, 05 Januari 2013

Tafsir Ayat Radha'ah



I.         PENDAHULUAN
Air Susu Ibu (ASI) merupakan makanan yang terbaik bagi bayi, karena pengolahannya telah berjalan secara alami dalam tubuh si ibu. Sebelum anak lahir, makanannya telah disiapkan lebih dahulu, sehingga begitu anak itu lahir, air susu ibu telah siap untuk dimanfaatkan. Demikian kasih sayang Allah terhadap makhluk-Nya. Namun demikian ada banyak kaum ibu pada saat ini yang tidak dapat memberikan ASI kepada anaknya dengan berbagai alasan seperti ASI-nya tidak keluar, alasan kesehatan serta karena waktunya tersita untuk bekerja, maka muncullah gagasan untuk mendirikan Bank ASI untuk memenuhi kebutuhan ASI balita yang ibunya tidak bisa menyusui anaknya secara langsung. 
Gagasan untuk mendirikan bank ASI ini sebenarnya telah berkembang di Eropa kira-kira lima puluh tahun yang lalu. Gagasan itu muncul setelah adanya bank darah. Mereka melakukannya dengan mengumpulkan ASI dari wanita dan membelinya kemudian ASI tersebut dicampur di dalam satu tempat untuk menunggu orang yang membeli ASI tersebut dari mereka. Permasalahan ini cukup menarik untuk dikaji melalui hukum Islam. Pentingnya melakukan kajian tersebut, karena sebagaimana yang diketahui bahwa dalam Islam ada istilah yang disebut sebagai saudara sesusu. Apakah bank ASI ini juga mengakibatkan terjadinya saudara sesusuan, semuanya akan diketahui melalaui kajian berikut.

II.       PEMBAHASAN
A.  Surat al-Baqarah; 233
* ßNºt$Î!ºuqø9$#ur z`÷èÅÊöãƒ £`èdy»s9÷rr& Èû÷,s!öqym Èû÷ün=ÏB%x. ( ô`yJÏ9 yŠ#ur& br& ¨LÉêムsptã$|ʧ9$# 4 n?tãur ÏŠqä9öqpRùQ$# ¼ã&s! £`ßgè%øÍ £`åkèEuqó¡Ï.ur Å$rã÷èpRùQ$$Î/ 4 Ÿw ß#¯=s3è? ë§øÿtR žwÎ) $ygyèóãr 4 Ÿw §!$ŸÒè? 8ot$Î!ºur $ydÏ$s!uqÎ/ Ÿwur ׊qä9öqtB ¼çm©9 ¾ÍnÏ$s!uqÎ/ 4 n?tãur Ï^Í#uqø9$# ã@÷VÏB y7Ï9ºsŒ 3 ÷bÎ*sù #yŠ#ur& »w$|ÁÏù `tã <Ú#ts? $uKåk÷]ÏiB 9ãr$t±s?ur Ÿxsù yy$oYã_ $yJÍköŽn=tã 3 ÷bÎ)ur öN?Šur& br& (#þqãèÅÊ÷ŽtIó¡n@ ö/ä.y»s9÷rr& Ÿxsù yy$uZã_ ö/ä3øn=tæ #sŒÎ) NçFôJ¯=y !$¨B Läêøs?#uä Å$rá÷èpRùQ$$Î/ 3 (#qà)¨?$#ur ©!$# (#þqßJn=ôã$#ur ¨br& ©!$# $oÿÏ3 tbqè=uK÷ès? ׎ÅÁt/ ÇËÌÌÈ  

“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan”.


معنى المفردات :           
1. { الوالدات } : para ibu
{ حَوْلَيْنِ } : dua tahun
2. { المولود لَهُ } : ayah
3. { فِصَالاً } :    menghentikan anaknya dari penyusuan
4. { تسترضعوا } : menginginkan anaknya untuk disusukan orang lain
5. { بالمعروف } : dengan sepantasnya (dalam memberi upah )[1]

استنباط الأحكام :

1. Hukum menyusui anak bagi seorang ibu
Dalam hal ini sebagian ulama  pendapat bahwasanya hukum bagi seorang ibu dalam menyusui anaknya adalah wajib.Hal ini sebagaimana yang telah dikatakan dalam al qur’an :
ßNºt$Î!ºuqø9$#ur z`÷èÅÊöãƒ £`èdy»s9÷rr&
“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya”
Dari ayat di atas mengandung kalimat perintah - menyusui bagi ibu terhadap anaknya- dalam bentuk berita.Dalam mazhab maliki perintah wajib menyusui bagi ibu berlaku jika dia masih berstatus istri (belum bercerai) atau ketiadaan suami.Adapun perempuan yang ditalak bain maka kewajiban tersebut jatuh kepada suaminya (yang mencerai).[2]
2. Kadar tempo menyusui anak bagi seorang ibu
Tidak ada kadar waktu wajib bagi seorang ibu dalam menyusui anaknya.Boleh dia menyusui anaknya lebih dari dua tahun atau kurang dari itu.Namun idealnya bagi seorang ibu dalam hal itu adalah selama dua tahun.hal ini berdasarkan firman Allah di atas yang berbunyi : 
لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُـتِمَّ الـرَّضَاعَة
 “Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan susuan”
Hal ini menunjukkan bahwa waktu 2 tahun itu bukan harga mati, namun bisa lebih pendek dari itu, tak ada batasan pasti, tergantung dari kemaslahatan bagi anak dan ibunya maupun pola makannya.[3]
3.penyusuan yang menjadikan mahram
Menurut Pendapat Imam Malik, Syafi’i dan Ahmad waktu penyusuan yang menjadikan anak itu haram dengan yang menyusuinya adalah selama belum lebih dari dua tahun.Jikalau seseorang menyusui seorang bayi yang berumur lebih dua tahun maka dia tidak bisa dikatakan sebagia anak susuannya.[4]hal ini berdasarkan firman Allah di atas yang berbunyi : 

ßNºt$Î!ºuqø9$#ur z`÷èÅÊöãƒ £`èdy»s9÷rr& Èû÷,s!öqym Èû÷ün=ÏB%x.
Dan pendapat itu juga senada dengan hadis yang berbunyi :
لا رضاع إلا ما كان في حولين   رواه الدارقطني
“Tidak ada penyusuan kecuali sibayi berumur dalam dua tahun
4. Kewajiban nafkah
Wajib atas orang yang diberikan kepadanya seorang anak (baik ia adalah suami bagi ibu anak tersebut atau yang lainnya) untuk memberikan nafkah kepada ibu yang menyusui anaknya tersebut. dhahirnya ayat menunjukkan bahwa hal itu tidak dibedakan antara ibu yang menyusui tersebut adalah sebagai istri yang masih terikat dalam hubungan pernikahan atau istri yang telah dithalak ba’in.
Jika dia adalah masih dalam ikatan pernikahan maka nafkah melalui dua jalan atau sebab, melalui dia sebagai istri (yang wajib bagi suami menafkahinya) dan dari sebab menyusui. Dan apabila dia telah di thalak ba’in maka nafkah hanya melalui satu sebab yaitu sebab menyusui. Dan kewajiban nafkah tersebut sesuai kondisi kemampuan suami.[5]
         5.maksud dari ahli waris

وَ عَلَى الْـوَارِثُ مِثْلُ ذلِكَ

 “Dan warispun berkewajiban demikian
Ibnu Katsir rahimahullah menyebutkan: Ada yang mengatakan, tidak boleh menimpakan madlarat kepada kerabatnya. Seperti dikatakan oleh Mujahid, asy-Sya`bi dan adl-Dlohhak, Ada juga yang mengatakan kepada ahli waris diwajibkan pula seperti yang diwajibkan kepada ayah bayi itu. Yaitu memberikan nafkah kepada ibu si bayi serta memenuhi semua hak-haknya serta tidak  mencelakakannya. Demikian menurut jumhur `ulama. Ibnu Jarir ath Thabari secara panjang lebar membahas dalam kitab Tafsirnya. Hal ini dijadikan dalil oleh pengikut madzhab Hanafi fan Hanbali yang mewajibkan pemberian nafkah kepada kaum kerabat, sebagian atas sebagian yang lain.[6]

B.   Surat an-Nisa: 23
ôMtBÌhãm öNà6øn=tã öNä3çG»yg¨Bé& öNä3è?$oYt/ur öNà6è?ºuqyzr&ur öNä3çG»£Jtãur öNä3çG»n=»yzur ßN$oYt/ur ˈF{$# ßN$oYt/ur ÏM÷zW{$# ãNà6çF»yg¨Bé&ur ûÓÉL»©9$# öNä3oY÷è|Êör& Nà6è?ºuqyzr&ur šÆÏiB Ïpyè»|ʧ9$# àM»yg¨Bé&ur öNä3ͬ!$|¡ÎS ãNà6ç6Í´¯»t/uur ÓÉL»©9$# Îû Nà2Íqàfãm `ÏiB ãNä3ͬ!$|¡ÎpS ÓÉL»©9$# OçFù=yzyŠ £`ÎgÎ/ bÎ*sù öN©9 (#qçRqä3s? OçFù=yzyŠ  ÆÎgÎ/ Ÿxsù yy$oYã_ öNà6øn=tæ ã@Í´¯»n=ymur ãNà6ͬ!$oYö/r& tûïÉ©9$# ô`ÏB öNà6Î7»n=ô¹r& br&ur (#qãèyJôfs? šú÷üt/ Èû÷ütG÷zW{$# žwÎ) $tB ôs% y#n=y 3 žcÎ) ©!$# tb%x. #Yqàÿxî $VJŠÏm§ ÇËÌÈ  
“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan[7], saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”

معنى المفردات :
1 حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ  diharamkan atas kamu menikahi :                     
2 وَخَالَاتُكُمْ  saudara-saudara ibumu yang perempuan :
3 وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ   ibu – ibu yang menyusui kamu :
4 وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ  saudaramu sesusu :
5 وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ
anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri:
6 فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ maka tidak berdosa kamu mengawininya :               
7 وَحَلَائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلَابِكُمْ isteri-isteri anak kandungmu (menantu):
8 إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ  kecuali yang telah terjadi pada masa lampau :


استنباط الأحكام :
Di dalam ayat di atas terkandung pengharaman nikah seseorang kepada mahramnya yang mana hal ini dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian yaitu haram karena keturunan,haram karena penyusuan,haram karena مصاهرة  (seperti antara suami dengan ibu atau anak istri).[8]
1. Haram nikah karena keturunan
Diharamkan bagi seseorang menikahi tujuh orang dari perempuan dikarenakan adanya status keturunan yaitu : ibu hingga ke atas,anak perempuan hingga ke bawah,saudari,bibi dari ayah, bibi dari ibu,anak perempuan dari saudara dan anak perempuan dari saudari.[9]           
2. Haram nikah karena penyusuan
Diharamkan menikah dikarenakan adanya status penyusuan sebagaimana hadis yang berbunyi :
يحرم من الرضاع ما يحرم من النسب[10]
Diharamkannya yang dikarenakan penyusuan sama seperti halnya diharamkannya karena keturunan. Maka dari sini jika seseorang yang telah menjadi anak dari susuan maka dia dharamkan menikahi ibu susuannya,dan seperti perempuan lainnya yang haram karena keturunan.[11]
3. haram nikah karena مصاهرة
Dalam hal ini ada empat permpuan yang diharamkan menikahinya :
1. istri ayah : وَلَا تَنْكِحُوا مَا نَكَحَ آبَاؤُكُمْ مِنَ النِّسَاءِ
2.istri anak : وَحَلَائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلَابِكُمْ
3. ibu istri : وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ
4. anak istri ( yang sudah digauli ):
وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ
عَلَيْكُمْ
Dari bagian 1 sampai 3 jatuh keharaman menikahinya jika telah terjadinya akad nikah contohnya seseorang yang menikahi perempuan lalu dia menginginkan ibunya maka hal ini tidak diperbolehkan dalam Islam. Berbeda sebalik di bagian 4 jika seseorang telah menikahi perempuan (belum menggaulinya) maka boleh dia memilih anaknya.[12]
Haramnya menikahi seorang perempuan berdasarkan tempo
Dalam hal ini ada dua macam yaitu mengumpulkannya dengan saudarinya dan menikahi istri orang lain.
1.Mengumpulkannya dengan saudaranya
Berdasarkan ayat diatas an nisa 23 seseorang diharamkan menikahi perempuan beserta saudarinya.Dan begitu pula mengumpulkannya dengan bibinya sebagaimana hadis yang berbunyi :
لا يجمع بين المرأة وعمتها ولا بين المرأة وخالتها [13]
“Hendaklah seseorang untuk tidak mengumpulkan perempuan dengan bibi dari ayahnya atau dari ibunya”.
2.Istri orang lain
 Di haramkan bagi seseorang menikahi istri orang lain sebagaimana firman Allah swt :
وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاءِ
“Dan (diharamkan pula menikahi) perempuan yang sudah bersuami”.
 Demikian juga diharamkan menikahi perempuan yang masih berada dalam iddahnya[14] sebagaimana firman Allah swt :
وَلَا تَعْزِمُوا عُقْدَةَ النِّكَاحِ حَتَّى يَبْلُغَ الْكِتَابُ أَجَلَهُ[15]
“Dan janganlah kamu menetapkan akad nikah sebelum habis masa iddahnya”.
C. Al Muharamat Karena Penyusuan
Secara etimologi radha’ah berarti suatu nama untuk isapan atau sedotan air susu dari al-sadyu (susu), baik susu manusia maupun susu binatang. Karena titik berat daam pengertian lugawi in terletak pada isapan al-sadyu, maka jika air susu itu diperah kemudian diminumkan kepada seseorang, hal tersebut tidak dinamakan radha’ah. Dalam pengetian lugawi ini juga tidak disyaratkan besar kecilnya orang yang menyusu. Dengan kata lain, siapa pun yang menyusu, dewasa maupun bayi, kepada manusia atau binatang, dinamakan radha’ah. Namun ketika istilah radha’ah dipakai di dalam hukum Islam, maka pengertiannya dapat dirumuskan sebagai berikut:
         وُ صُوْ لُ لَبَنِ آدَ مِيّةٍ إِلَى جَوْفِ طِفْلٍ
“Sampainya air susu manusia ke dalam kerongkongan anak-anak”[16].

Radha’ah (penyusuan)[17] yang selama ini menjadi acuan syara’ dalam menetapkan pengharaman (perkawinan), menurut jumhur fuqaha termasuk tiga orang imam mazhab, yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Syafi’i, ialah segala sesuatu yang sampai ke perut bayi melalui kerongkongan atau lainnya, denga cara menghisap atau lainnya, seperti dengan al-wajur (yaitu menuangkan air susu lewat mulut kekrongkongan), bahkan mereka samakan pula dengan jal as-sa’uth yaitu menuangkan air susu kehidung (lantas kekrongkongan) dan ada pula yang berlebihan dengan menyamakannya dengan suntikan lewat dubur (anus)[18].
Apabila diperhatikan pengertian radha’ah di atas, tidak ditemukan batasan tertentu tentang usia anak yang menyusu. Namun demikian, para fuqaha telah sepakat berpendapat bahwa usia anak yang menyusu yang dapat menjadi penghalang pernikahan adalah usia dua tahun. Karena itu, Imam Malik, Abu Hanafiyah, Syafi’i, dan sejumlah ulama lainnya, berpendapat bahwa penyusuan anak yang besar (dewasa) tidak menyebabkan keharaman pernikahan[19]. 
Sebagaimana pendapat Ibnu Abbas r.a. yang diriwayatkan oleh Daruquthni dan Ibnu adiy secara tegas mengatakan[20]:
لَا رَ ضَا عَ إلّافِى حَوْلَيْنِ
“Tidak ada susuan kecuali dalam usia dua tahun”
Dan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud disebutkan:
لَارَضَا عَ إلّامَا أَ نْشَزَ اْلعَظُمَ وَأَ نْبَتَ الّلحْمَ
“Tidak ada susuan kecuali sesuatu yang dapat memperkuat tulang dan menumbuhkan daging”   
Sayyid Sabiq menjelaskan hadits ini dengan mengatakan bahwa kuatnya tulang dan tumbuhnya daging tersebut terjadi pada anak usia dua tahun. Tulang dan daging itu tumbuh dengan air susu pada usia tersebut. 
Berbeda dengan Madzhab Syafi'i dan Hanbali mengatakan bahwa susuan yang mengharamkan adalah jika telah melewati 5 kali susuan secara terpisah. Hal ini berdasarkan hadits Aisyah ra, bahwasanya beliau berkata[21]:
كَانَ فِيمَا أُنْزِلَ مِنْ الْقُرْآنِ عَشْرُ رَضَعَاتٍ مَعْلُومَاتٍ يُحَرِّمْنَ ثُمَّ نُسِخْنَ بِخَمْسٍ مَعْلُومَاتٍ فَتُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُنَّ فِيمَا يُقْرَأُ مِن الْقُرْآنِ

"Dahulu dalam Al Qur`an susuan yang dapat menyebabkan menjadi mahram ialah sepuluh kali penyusuan, kemudian hal itu dinasakh (dihapus) dengan lima kali penyusuan saja. Lalu Rasulullah saw wafat, dan ayat-ayat Al Qur`an masih tetap di baca seperti itu." (HR Muslim)

Kapan seorang bayi menyusui dan dianggap sebagai satu susuan, Yaitu jika dia menyusui, setelah kenyang dia melepas susuan tersebut menurut kemauannya. Jika dia menyusu lagi setelah satu atau dua jam, maka terhitung dua kali susuan dan seterusnya sampai lima kali menyusu. Kalau si bayi berhenti untuk bernafas, atau menoleh kemudian menyusu lagi, maka hal itu dihitung satu kali susuan saja.
Para ulama berbeda pendapat tentang tata cara menyusu yang bisa mengharamkan. Mayoritas ulama mengatakan bahwa yang penting adalah sampainya air susu tersebut ke dalam perut bayi, sehingga membentuk daging dan tulang, baik dengan cara menghisap puting payudara dari perempuan langsung, ataupun dengan cara as-su'uth (memasukkan susu ke lubang hidungnya), atau dengan cara al-wujur (menuangkannya langsung ke tenggorakannya), atau dengan cara yang lain[22]

D.  Hukum Susuan Lewat Bank ASI Dalam Kaitannya Dengan Mahram
1.         Pengertian Bank Asi
Bank ASI merupakan tempat penyimpanan dan penyalur ASI dari donor ASI yang kemudian akan diberikan kepada ibu-ibu yang tidak bisa memberikan ASI sendiri ke bayinya. Ibu yang sehat dan memiliki kelebihan produksi ASI bisa menjadi pendonor ASI. ASI biasanya disimpan di dalam plastik atau wadah, yang didinginkan dalam lemari es agar tidak tercemar oleh bakteri. Kesulitan para ibu memberikan ASI untuk anaknya menjadi salah satu pertimbangan mengapa bank ASI perlu didirikan, terutama di saat krisis seperti pada saat bencana yang sering membuat ibu-ibu menyusui stres dan tidak bisa memberikan ASI pada anaknya[23].
Semua ibu donor diskrining dengan hati-hati. Ibu donor harus memenuhi syarat, yaitu non-perokok, tidak minum obat dan alkohol, dalam kesehatan yang baik dan memiliki kelebihan ASI. Selain itu, ibu donor harus memiliki tes darah negatif untuk Hepatitis B dan C, HIV 1 dan 2, serta HTLV 1 dan 2, memiliki kekebalan terhadap rubella dan sifilis negatif. Juga tidak memiliki riwayat penyakit TBC aktif, herpes atau kondisi kesehatan kronis lain seperti multiple sclerosis atau riwayat kanker. Berapa lama ASI dapat bertahan sesuai dengan suhu ruangannya:
a.    Suhu 19-25 derajat celsius ASI dapat tahan 4-8 jam.
b.    Suhu 0-4 derajat celsius ASI tahan 1-2 hari
c.    Suhu dalam freezer khusus bisa tahan 3-4 bulan[24].



2.         Hukum Jual Beli Asi
Air Susu Ibu (ASI) adalah bagian yang mengalir dari anggota tubuh manusia, dan tidak diragukan lagi itu merupakan karunia Allah bagi manusia dimana dengan adanya ASI tersebut seorang bayi dapat memperoleh gizi. ASI tersebut merupakan sesuatu hal yang urgen di dalam kehidupan bayi. Karena pentingnya ASI tersebut untuk pertumbuhan maka sebagian orang memenuhi kebutuhan tersebut dengan membeli ASI pada orang lain. Jual beli ASI manusia itu sendiri di dalam fiqih Islam merupakan cabang hukum yang para ulama berbeda pendapat di dalamnya. Ada dua pendapat ulama tentang hal tersebut[25].
Pertama, tidak boleh menjualnya. Ini merupakan pendapat ulama madzhab Hanafi kecuali Abu Yusuf, salah satu pendapat yang lemah pada madzhab Syafi'i dan merupakan pendapat sebagian ulama Hanbali. Kedua, pendapat yang mengatakan dibolehkan jual beli ASI manusia. Ini merupakan pendapat Abu Yusuf (pada susu seorang budak), Maliki dan Syafi'i, Khirqi dari madzhab Hanbali, Ibnu Hamid, dikuatkan juga oleh Ibnu Qudamah dan juga madzhab Ibnu Hazm[26].

3.         Timbulnya Perbedaan Pendapat dikalangan Ulama
Menurut Ibn Rusyd, sebab timbulnya perselisihan pendapat ulama di dalam hal tersebut adalah pada boleh tidaknya menjual ASI manusia yang telah diperah. Karena proses pengambilan ASI tersebut melalui perahan. Imam Malik dan Imam Syafi'i membolehkannya, sedangkan Abu Hanifah tidak membolehkannya. Alasan mereka yang membolehkannya adalah karena ASI itu halal untuk diminum maka boleh menjualnya seperti susu sapi dan sejenisnya. Sedangkan Abu Hanifah memandang bahwa hukum asal dari ASI itu sendiri adalah haram karena dia disamakan seperti daging manusia[27]. Maka karena daging manusia tidak boleh memakannya maka tidak boleh menjualnya.
4.         Hukum Mendirikan Bank Asi
Bahwa di dalam pembolehan menjual ASI itu ada kemungkaran karena bisa menimbulkan rusaknya pernikahan yang disebabkan kawinnya orang sesusuan dan hal tersebut tidak dapat diketahui jika antara lelaki dan wanita meminum ASI yang dijual bank ASI tersebut[28]. Namun, ada juga yang berpendapat bahwa menjual ASI tersebut membawa manfaat bagi manusia yaitu tercukupinya gizi bagi bayi karena kita melihat bahwa banyak bayi yang tidak memperoleh ASI yang cukup baik karena kesibukan sang ibu ataupun karena penyakit yang diderita ibu tersebut. Tetapi pendapat tersebut dapat ditolak karena kemudaratan yang ditimbulkan lebih besar dari manfaatnya yaitu terjadinya percampuran nasab. Padahal Islam menganjurkan kepada manusia untuk selalu menjaga nasabnya. Kaidah ushul juga menyebutkan bahwa:
دَفْعُ الضَّرَارِ اَوْلَى مِنْ جَلْبِ الْمَصَالِحِ
Menolak kemadharatan lebih utama dari pada menarik kemaslahatan.

Ibnu Sayuti di dalam kitab Asybah Wa Nadhaair menyebutkan bahwa di dalam kaidah disebutkan bahwa diantara prinsip dasar Islam adalah :
اَلضَّرَارُ لاَ يُزَالُ بِالضَّرَارِ
Kemudaratan itu tidak dapat dihilangkan dengan kemudaratan lagi.

Hal ini jelas, karena akan menambah masalah. Kaitannya dengan pembahasan kita yaitu, ketiadaan ASI bagi seorang bayi adalah suatu kemudaratan, maka memberi bayi dengan ASI yang dijual di bank ASI adalah kemudaratan pula. Maka apa yang tersisa dari bertemunya kemudaratan kecuali kemudaratan[29]. Karena Fiqih bukanlah pelajaran fisika dimana bila bertemu dua kutub yang sama akan menghasilkan hasil yang berbeda. Maka penulis sependapat bahwa hendaknya kita melihat mana yang lebih besar manfaatnya daripada kerusakannya.

5.         Ulama yang Membolehkan Bank Asi
Sebagian ulama kontemporer membolehkan pendirian bank ASI ini, diantara mereka adalah Dr. Yusuf al-Qardhawi. Mereka beralasan[30]:
a.       Bahwa kata kata radha'(menyusui) di dalam bahasa Arab bermakna menghisap puting payudara dan meminum ASI-nya. Maka oleh karena itu meminum ASI bukan melalui menghisap payudara tidak disebut menyusui, maka efek dari penyusuan model ini tidak membawa pengaruh apa-apa di dalam hukum nasab nantinya.
b.      Yang menimbulkan adanya saudara sesusu adalah sifat "keibuan", yang ditegaskan Al-Qur'an itu tidak terbentuk semata-mata diambilkan air susunya, tetapi karena menghisap teteknya dan selalu lekat padanya sehingga melahirkan kasih sayang si ibu dan ketergantungan si anak. Dari keibuan ini maka muncullah persaudaraan sepersusuan. Jadi, keibuan ini merupakan asal (pokok), sedangkan yang lain mengikutinya.
c.       Alasan yang dikemukakan oleh beberapa madzhab dimana mereka memberi ketentuan berapa kali penyusuan terhadap seseorang sehingga antara bayi dan ibu susu memilki ikatan yang diharamkan nikah, mereka mengatakan bahwa jika si bayi hanya menyusu kurang dari lima kali susuan maka tidaklah membawa pengaruh di dalam hubungan darah[31].

III.     KESIMPULAN
Perbedaan pandangan ulama terhadap beberapa masalah penyusuan mengakibatkan mereka berbeda pendapat di dalam menyikapi munculnya Bank Asi sebagaimana berikut :
Pendapat Pertama menyatakan bahwa mendirikan bank ASI hukumnya boleh. Salah satu alasannya: Bayi tidak bisa menjadi mahram bagi ibu yang disimpan ASI-nya di bank ASI. Karena susuan yang mengharamkan adalah jika dia menyusu langsung. Sedangkan dalam kasus ini, sang bayi hanya mengambil ASI yang sudah dikemas.
Pendapat Kedua menyatakan hukumnya haram. Menimbang dampak buruknya menyebabkan tercampurnya nasab. Dan mengikuti pendapat jumhur yang tidak membedakan antara menyusu langsung atau lewat alat.
Pendapat Ketiga menyatakan bahwa pendirian Bank ASI dibolehkan jika telah memenuhi beberapa syarat yang sangat ketat, diantaranya: setiap ASI yang dikumpulkan di Bank ASI, harus disimpan di tempat khusus dengan meregistrasi nama pemiliknya dan dipisahkan dari ASI-ASI yang lain. Setiap bayi yang mengkonsumsi ASI tersebut harus dicatat detail dan diberitahukan kepada pemilik ASI, supaya jelas nasabnya. Dengan demikian, percampuran nasab yang dikhawatirkan oleh para ulama yang melarang bisa dihindari.








DAFTAR PUSTAKA

Al Baghdadi, Abdurrahman  , Emansipasi Adakah Dalam Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 1998)
Ashobuni, M. Ali, Tafsir Ayatul Ahkam (Damasykus: Maktabah Gozali, 1980)
Assa’ady, Abdurahman, Taisirul Karim (Muassasah Risalah, 2000)
Araby, Ibnu, Ahkamul Qur’an (Beirut: Darul Kutub Ilmiah, 2003)
Anshary AZ, Chuzaimah T. Yanggo dan Hafiz, Problematika Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2009)
Bukhari, Imam, Shohih bukhari, Dar Tuq Najah, tth.)
Khan, Sayyid Muhammad Shiddiq, Tafsir Fathul Qadir, I/301 ( Husnul Uswah, tth.)
Katsir, Ibnu, Tafsir al-Quran, (Dar Tayyibah, tth)
Mahjuddin, Masailul Fiqhiyah: Berbagai Kasus yang Dihadapi Hukum Islam Masa Kini, ( Jakarta: Kalam Mulia, 2003)
Muslim, Imam, Shohih Muslim ( Dar Ihya Turast, tth.)
Sabiq, Sayyid, Fiqh Sunnah (Bairut: Dar al Fikr, 1983)
Shabuni, Muhammad Ali, Tafsir Ayatul Ahkam (Darul Qutub Islamiyah tth.)
Uwaidah, Kamil Muhammad, Fiqih Wanita, terj. M. Abdul Ghoffar (Jakarta: Pustaka Al-kautsar, 1998)
Qaradhawi, Yusuf, Fatwa-Fatwa Kontemporer 2, terj. As’ad Yasin (Jakarta: Gema Insani, 1995)
Uman, Cholil, Agama Menjawab Tentang Berbagai Masalah Abad Modern, (Surabaya: Ampel Suci, 1994)
Zallum, Abdul Qadim,, Beberapa Problem Kontemporer Dalam Pandangan Islam : Kloning, Transplantasi Organ, Abortus, Bayi Tabung, Penggunaan Organ Tubuh Buatan, Definisi Hidup dan Mati, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2003)
Zuhdi, Masjfuk, ,  Masail Fiqhiyah: Kapita Selekta Hukum Islam, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2000)




Tidak ada komentar:

Posting Komentar