I.
PENDAHULUAN
Sebagai sumber hukum Islam yang kedua setelah al-Qur’an, hadits
Nabi memiliki fungsi strategis dalam kajian-kajian keislaman. Namun karena
pembukuan hadits baru dilakukan dalam rentan waktu yang cukup lama sejak
meninggalnya Nabi, ditambah kenyataan sejarah bahwa hadis pernah dipalsukan
dengan berbagai motif, maka orisinalitas hadits yang beredar di kalangan umat
Islam patut diteliti. Pada sisi lain, kenyataan sejarah tersebut juga sering
dijadikan celah dan starting point oleh musuh-musuh Islam untuk merongrong
akidah umat supaya mau berpaling dari hadits Nabi. Lebih-lebih diketahui bahwa
lingkungan Nabi hidup ketika itu kurang akrab dengan budaya tulis-menulis.
Karena itu keabsahan dan orisinalitas hadits yang ada memang harus diteliti.
Para ulama, sejak masa-masa awal Islam telah menunjukkan dedikasi
untuk melakukan penelitian dan seleksi ketat terhadap hadits-hadits Nabi. Hal
itu dimaksudkan untuk melestarikan hadits Nabi sebagai sumber ajaran agama yang
orisinal. Untuk tujuan mulia itu, mereka kemudian menciptakan seperangkat
kaidah, istilah, norma dan metode. Kaidah-kaidah itu, kemudian karena
pertimbangan kebutuhan, lantas dibakukan oleh ulama belakangan, baik yang
berhubungan dengan sanad maupun matan hadits. Tanpa pemahaman yang paripurna
terhadap kaidah, norma dan metode tersebut, sulit bagi seseorang untuk
mengetahui orisinalitas dan keabsahan hadits Nabi.
Sekalipun demikian, pemahaman terhadap berbagai istilah dan kaidah
itu tampaknya juga belum menjamin para pengkaji hadits akan mampu meneliti dan
memahami hadits secara benar. Dinyatakan demikian, karena kompleksitas
permasalahannya memang sangat beragam. Untuk menghindari kesalahan dalam
meneliti dan memahami hadits, maka ulama hadits, sesuai dengan keahlian masing-masing, kemudian juga
menciptakan seperangkat ilmu. Cabang-cabang pengetahuan itu ada yang
berhubungan dengan sanad, ada yang berhubungan dengan matan, dan ada yang
berhubungan dengan sanad dan matan.Karena berbagai istilah, kaidah dan cabang
pengetahuan yang berkaitan dengan hadits begitu banyak, maka dengan sendirinya
jumlah dan jenis kitab yang membahas hadits Nabi juga begitu banyak.
II.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Ilmu Hadits
Ilmu
hadits (Ulum al-Hadits), secara kebahasaan berarti ilmu-ilmu tentang
hadits. Secara etimologis, seperti yang telah diungkapkan oleh As-Suyuti, ilmu
hadits adalah
عِلْمٌ يُبْحَثُ فِيْهِ عَنْ كَيْفِيَةِ إِتِّصَالِ اْلحَدِيْثِ
بِرَسُوْلِ اللهِ ص. م. مِنْ حَيْثُ أَحْوَالِ رِوَاتِهِ ضَبْطًا وَعَدَالَةً
وَمِنْ حَيْثُ كَيْفِيَّةِ السَّنَدِ اِتِّصَالاً وَانْقَطَا عًا وَغَيْرِ ذلِكَ.
“Ilmu
pengetahuan yang membicarakan cara-cara persambungan hadits sampai kepada Rasul
SAW, dari segi hal ikhwal para rawinya, yang menyangkut kedhobitan dan
keadilannya dan dari bersambung dan terputusnya sanad dan sebagainya”[1].
Prof.
Dr. T. M. Hasbi ash-Shiddieqy yang dikutip oleh Abdullah Karim, mendefinisikan Ulum
al-Hadits adalah ilmu-ilmu yang
berpautan dengan hadits. Semua ilmu yang berkaitan dengan hadits, dapat
diistilahkan dengan ilmu hadits, yang bentuk jamaknya adalah Ulum al-Hadits.
Walaupun macam ilmu-ilmu hadits itu banyak, namun dapat dikategorikan pada dua
rumpun ilmu, yaitu Ilmu Hadits Riwayah dan Ilmu Hadits Dirayah[2].
1.
Ilmu
Hadits Riwayah
Kata
riwayah artinya meriwayatkan, menceritakan, memindahkan. Menurut para ulama
yang dikutip oleh Abdul Hakim bin Amir Abdat adalah suatu macam ilmu tentang
meriwayatkan sabda-sabda Nabi SAW, perbuatan-perbuatannya, taqrir-taqrirnya dan
sifat-sifatnya. Karena ilmu ini sifatnya hanya mengumpulkan hadits-hadits saja
tanpa memeriksa sah atau tidaknya yang orang sandarkan kepada Nabi SAW[3].
Menurut
Ibn al-Akfani, sebagaimana yang dikutip oleh Al-Suyuthi dalam bukunya Nawir
Yuslem, bahwa yang dimaksud dengan ilmu hadits riwayah adalah:
عِلْمُ اْلحَدِيْثِ اْلخَا صُّ بِالرِّوَايَةِ عِلْمٌ يَشْتَمِلُ
عَلَى نَقْلِ أَقْوَالِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَفْعَالِهِ
وَرِوَايَتِهَا وَضَبْتِهَا وَتَحْرِيْرِ أْلفَاظِهَا.
“Ilmu hadits yang khusus berhubungan dengan riwayah adalah ilmu
yang meliputi pemindahan (periwayatan) perkataan Nabi SAW dan perbuatannya,
serta periwayatannya, pencatatannya, dan penguraian lafaz-lafaznya”.
Definisi yang
hampir senada juga dikatakan oleh Zafar Ahmad Ibn Lathif al-Utsmani al-Tahanawi
di dalam bukunya Qawa’id fi Ulum al-Haditsnya;
عِلْمُ اْلحَدِيْثِ اْلخَا صُّ بِالرِّوَايَةِ هُوَ: عِلْمٌ يُعْرَفُ
بِهِ أَقْوَالِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَفْعَالُهُ وَ
أَحْوَالُهُ وَرِوَايَتُهَا وَضَبْطُهَا وَتَحْرِيْرُأَلْفَاظِهَا.
“
Ilmu hadits yang khusus dengan riwayah adalah ilmu yang dapat diketahui
dengannya perkataan , perbuatan dan keadaan Rasul SAW serta periwayatan,
pencatatan, dan penguraian lafaz-lafaznya”.
Dari definisi di atas dapat dipahami bahwa ilmu hadits riwayah pada
dasarnya membahas tentang tata cara periwayatan, pemeliharaan, dan penulisan
atau pembukuan hadits Nabi SAW[4].
Ilmu hadits riwayah ini sudah ada semenjak Nabi SAW masih hidup,
yaitu bersamaan dengan dimulainya periwayatan hadits itu sendiri. Para sahabat
Nabi SAW menaruh perhatian yang tinggi terhadap hadits Nabi, mereka berupaya
untuk memperoleh hadits Nabi SAW dengan cara mendatangi majlis Rasul SAW serta
mendengar serta menyimak pesan atau nasihat yang disampaikan beliau[5].
Ulama yang terkenal dan dipandang sebagai pelopor ilmu hadits
riwayah adalah Abu Bakar Muhammad bin Syihab Az-Zuhri (51-124 H), seorang imam
dan ulama besar di Hedzjaz (Hijaz) dan Syam sebagai ulama pertama yang
menghimpun hadits Nabi SAW, atas perintah Khalifah Umar bin Abdul Aziz (99
H/717 M-102 H/720 M)[6].
Adapun
faedah dengan adanya ilmu hadits riwayah adalah
a.
Supaya
kita dapat membedakan mana yang orang sandarkan kepada Nabi SAW dan mana yang
disandarkan kepada selain beliau.
b.
Agar
supaya hadits tidak beredar dari mulut kemulut atau dari satu tulisan ke
tulisan yang lain tanpa sanad.
c.
Agar
dapat diketahui jumlah hadits yang orang sandarkan kepada Nabi SAW.
2.
Ilmu
Hadits Dirayah
Ilmu
hadits dirayah ialah pembahasan masalah untuk mengetahui keadaan rawi dan yang
diriwayatkan, untuk mengetahui apakah bisa diterima atau ditolak[10].
Definisi
yang lain seperti halnya yang diungkapkan oleh Izzuddin bin Jama’ah yang
dikutip oleh M. Agus Solahudin dan Agus Suyadi
adalah:
عِلْمُ بِقَوَانِيْنَ يُعْرَفُ بِهَا أَحْوَالُ السَّنَدِ
وَاْلمَتْنِ.
“Ilmu yang membahas
pedoman-pedoman yang dengannya dapat diketahui keadaan sanad dan matan”[11].
Ibnu
al-Akfani yang dikutip oleh Munzier Suparta mendefinisikan ilmu hadits dirayah
sebagai berikut:
علم يعرف منه حقيقة الر واية وشروطها وأنواعها وأحكا مها وحال الرواة
وشروطهم واصناف المرويا ت وما يتعلق بها.
“Ilmu
pengetahuan untuk mengetahui hakikat periwayatan, syarat-syarat, macam-macam
dan hukum-hukumnya serta untuk mengetahui keadaan para perawi, baik
syarat-syaratnya, macam-macam hadits yang diriwayatkan dan segala yang
berkaitan dengannya”.
Yang
dimaksud dengan:
-
Hakikat
periwayatan adalah penukilan hadits dan penyandarannya kepada sumber hadits
atau sumber berita.
-
Syarat-syarat
periwayatan adalah penerimaan perawi terhadap hadits yang akan diriwayatkan
dengan bermacam-macam cara penerimaan, seperti melalui al-Sama’
(pendengaran), al-Qira’ah (pembacaan), al-Washiah (berwasiat), al-Ijazah
(pemberian izin dari perawi).
-
Macam-macam
periwayatan adalah membicarakan sekitar bersambung dan terputusnya periwayatan
dan lain-lain.
-
Hukum-hukum
periwayatan adalah pembicaraan sekitar diterima atau ditolaknya suatu hadits.
-
Keadaan
para perawi ialah pembicaraan sekitar keadilan, kecacatan para perawi, dan
syarat-syarat mereka dalam menerima dan meriwayatkan hadits.
-
Macam-macam
hadits yang diriwayatkan meliputi hadits-hadits yang dapat dihimpun pada
kitab-kitab hadits[12].
Dari
pengertian tersebut, kita bisa mengetahui bahwa ilmu hadits dirayah adalah ilmu
yang mempelajari kaidah-kaidah untuk mengetahui hal ihwal sanad, matan, cara
menerima dan menyampaikan hadits, sifat rawi dan lain-lain[13].
Dan ilmu hadits dirayah inilah yang pada masa selanjutnya secara umum dikenal
dengan ulumul hadits, musthalah al-hadits atau ushul al-hadits.
keseluruhan nama-nama tersebut meskipun bervariasi, namun mempunyai arti dan
tujuan yang sama, yaitu ilmu yang membahas tentang kaidah-kaidah untuk
mengetahui keadaan perawi (sanad) dan marwi (matan) suatu hadits,
dari segi diterima dan ditolaknya[14].
Ilmu
hadits dirayah mulai dibahas pada pertengahan abad ke-2 H. Akan tetapi pada
waktu itu masih belum merupakan ilmu yang berdiri sendiri. Buku-buku yang
berkaitan dengan ilmu ini antara lain ditulis oleh Aliy Ibnu al-Madini (161-234
H), al-Bukhari (198-252 H), at-Turmuzi (200-279 H). Ilmu ini mulai ditulis
dalam sebuah buku secara khusus oleh al-Qadi Ibnu Muhammad ar-Ramahhurmuzi
(265-360 H) dengan judul al-Muhaddis al-Fasil Bayn ar-Rawi wa al-Wa’iy.
Kemudian disusul oleh al-Hakim Abu Abdillah Abu Abdillah an-Naysaburi (321-405
H), selanjudnya Abu Nu’aym al-Isbahani, berikutnya al-Khatib Abu Bakr
al-Bagdadi (w. 463 H) dan lain-lain[15].
Adapun
tujuan dan faedah ilmu hadits dirayah adalah:
1.
Mengetahui
pertumbuhan dan perkembangan hadits da ilmu hadits dari masa ke masa sejak masa
Nabi SAW sampai sekarang.
2.
Mengetahui
tokoh-tokoh dan usaha-usaha yang telah dilakukan dalam mengumpulkan,
memelihara, dan meriwayatkan hadits.
3.
Mengetahui
kaidah-kaidah yang dipergunakan oleh para ulama dalam mengklasifikasikan hadits
lebih lanjut.
4.
Mengetahui
istilah-istilah, nilai-nilai dan kriteria-kriteria hadits sebagai pedoman dalam
menentukan suatu hukum syara’[16].
Dengan
melihat uraian ilmu hadits riwayah dan ilmu hadits dirayah di atas,
tergambarkan adanya kaitan yang sangat erat, antara yag satu dengan yang
lainnya. Hal ini karena, setiap ada periwayatan hadits tentu ada kaidah-kaidah
yang dipakai dan diperlukan, baik dalam penerimaannya maupun penyampaiannya
kepada pihak lain. Sejalan dengan perjalanan ilmu hadits riwayah, ilmu hadits
dirayah juga terus berkembang menuju kesempurnaannya sesuai dengan kebutuhan
yang berkaitan langsung dengan perjalanan hadits riwayah. Oleh karena itu,
tidak mungkin ilmu hadits riwayahberdiri tanpa ilmu hadits dirayah, begitu juga
sebaliknya[17].
B.
Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Ilmu Hadits
Ilmu
ini pada dasarnya telah tumbuh sejak zaman Nabi SAW masih hidup. Akan tetapi
ilmu ini terasa diperlukan setelah Nabi SAW wafat, terutama sekali ketika umat
Islam memulai upaya mengumpulkan hadits dan mengadakan perlawatan yang mereka
lakukan, sudah barang tentu secara langsung atau tidak,memerlukan kaidah-kaidah
guna menyeleksi periwayatan hadits. Pada perkembangan berikutnya kaidah-kaidah
itu semakin disempurnakan oleh para ulama yang muncul pada abad kedua dan
ketiga Hijriyah, baik mereka yang mengkhususkan diri dalam mempelajari bidang
hadits, maupun bidang-bidang lainnya, sehingga menjadi satu disiplin ilmu yang
berdiri sendiri[18].
Uraian
berikut akan menitkberatkan sejarah pertumbuhan dan perkembangan ilmu hadits
menjadi tiga periodesasi yaitu awal lahirnya ilmu hadits sampai pada masa
kekininan.
1.
Masa Klasik (Masa Nabi SAW sampai Abad 7 H)
Hadits-hadits
Nabi yang terhimpun di dalam kitab-kitab hadits yang ada sekarang adalah hasil
kesungguhan para sahabat dalam menerima dan memelihara dimasa Nabi SAW dahulu.
Apa yang telah diterima oleh sahabat dari Nabi SAW disampaikan pula oleh mereka
kepada sahabat lain yang tidak hadir ketika itu, dan selanjutnya mereka
menyampaikannya kepada generasi berikutnya dan demikianlah seterusnya hingga
sampai kepada perawi terakhir yang melakukan kodifikasi hadits.
Cara
penerimaan hadits dimasa Nabi SAW tidak sama dengan penerimaan hadits di masa
generasi sesudahnya. Penerimaan hadits dimasa Nabi SAW dilakukan oleh sahabat
dekat beliau, seperti Khulafa’ al-Rasyidin dan dari kalangan sahabat
lainnya. Para sahabat Nabi mempunyai minat yang besar untuk memperoleh hadits
Nabi SAW, oleh karenanya mereka berusaha keras mengikuti Nabi SAW agar ucapan,
perbuatan dan taqrir beliau dapat mereka terima atau lihat secara langsung[19].
Apabila diantara mereka ada yang berhalangan, maka mereka mencari sahabat yang
kebe Ketigatulan mengikuti atau hadir bersama Nabi SAW ketika itu untuk meminta
apa yang mereka peroleh dari beliau[20].
Pada masa ini kritik atau penelitian
terhadap suatu riwayat (hadits) yang menjadi cikal bakal ilmu hadits terutama
ilmu hadits dirayah dilakukan
dengan cara yang sederhana sekali.
Apabila seorang sahabat ragu-ragu menerima suatu riwayat dari sahabat lainnya,
ia segera menemui Nabi SAW atau sahabat lain yang dapat dipercaya untuk
mengonfirmasikannya. Setelah itu, barulah ia menerima dan mengamalkan hadits
tersebut[21].
Pada masa Sahabat yang dimulai dari
khalifah Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali, begitu pula
dengan khalifah-khalifah sesudahnya, terus menjunjung tinggi hadits-hadits Nabi
SAW. Adapun perhatian khulafa al-rasyidin terhadap hadits pada dasarya
adalah:
a.
Para
khulafa al-rasyidin dan para sahabat berpegang bahwa hadits adalah dasar
Tasyri’, maka setiap amalan syariat Islam selalu berpedoman kepada
hadits disamping al-Quran yang menjadi dasar hukum umat Islam.
b.
Para
sahabat berusaha mentablighkan segala hadits yang diterima mereka.
Namun
periwayatan hadits dipermulaan masa sahabat terutama pada masa Abu Bakar dan
Umar, masih terbatas sekali disampaikan kepada yang memerlukan saja , belum
bersifat pelajaran.
Dalam
prakteknya, cara sahabat meriwayatkan hadits ada dua, yakni:
a.
Dengan
lafazh asli, yakni menurut lafazh yang mereka terima dari Nabi SAW yang mereka
hafal benar lafazh dari Nabi.
b.
Dengan
maknanya saja, yakni mereka meriwayatkan maknanya bukan dengan lafazhnya karena
tidak hafal lafazh yang asli dari Nabi SAW.
Suasana
masyarakat masa khulafa al-rasyidin terutama pada masa Abu bakar
mengalami pesoalan-pesoalan, diantaranya murtadnya orang sepeninggalan Nabi
SAW, maka para sahabat berhati-hati dalam periwayatan sebuah hadits, dan
mengambil langkah berupa:
a.
Menyedikitkan
riwayat, yakni hanya mengeluarkan hadits dalam batas kadar kebutuhan primer
dalam pengajaran dan tuntutan pengalaman agama.
b.
Menapis
dalam penerimaan hadits, yakni meneliti keadaan rawi setiap hadits, apakah
cukup adil atau masih meragukan, hadits mutawatir atau masyhur. Terkadang kalau
menerima hadits yang diragukan, para sahabat meminta saksi,
keterangan-keterangan yang bisa menyakinkan.
c.
Melarang
meriwayatkan secara luas hadits yang belum dapat difahami sacara umum[22].
Dalam
masa sahabat ini, perkembangan penelitian hadits menyangkut sanad maupun
matan hadits semakin menampakkan wujudnya, dalam rangka menjaga
kemurnian sebuah hadits, seperti halnya yang telah dilakukan khalifah pertama
Abu Bakar yang diikuti sahabat sesudahnya, yaitu tidak mau menerima suatu
hadits yang disampaikan seseorang, kecuali yang bersangkutan mampu mendatangkan
saksi untuk memastikan kebenaran riwayat yang disampaikanya. Kecuali sahabat
Ali r.a memiliki persyaratan tersendiri dalam menerima suatu hadits, yaitu
orang yang menyampaikan sebuah hadits harus bersedia disumpah atas kebenaran
riwayat yang dibawanya[23].
Perinsip
dasar penelitian sanad yang terkandung dalam kebijaksaan yang dicontohkan oleh
para sahabat diikuti dan dikembangkan pula oleh para tabiin. Di antara tokoh
tabiin yang terkenal dalam bidang ini adalah Sa’id bin Mussab (15-94 H),
Al-Hasan Al-bashri (21-110 H), Amir bin Syurahbi Asy-sya’bi (17-104 H) dan
Muhammad bin Sirin (w. 110 H)[24].
Dalam
catatan sejarah menurut Ibn Hajar Al-Asqalani, ulama yang pertama kali berhasil
menyusun ilmu hadits dalam suatu disiplin ilmu lengkap adalah Al-Qadi Abu
Muhammad Al-Hasan bin Abd. Ar-Rahman bin Khalad Ar-Ramahurmuzi (265-360 H)
dalam kitabnya, Al-Muhaddits Al-Fashil baina Ar-Rawi wa Al-Wa’i[25].
Kitab ini pada masa itu merupakan kitab yang paling populer dan terlengkap,
yang kemudian dikembangkan dan disempurnakan lagi oleh para ulama-ulama
berikutnya.
Kemudian
muncul ulama-ulama muhaditsin lainnya seperti Al-Hakim Abu Abdillah (405 H),
yang mengarang kitab Ma’rifah Ulumil Hadits, yang isinya membagi ilmu
hadits menjadi 50 macam. Sesudah itu dilanjutkan oleh Abu Nu’aim Al-Ashbahani
(430 H), yang menambah beberapa pembahasan yang telah dibahas oleh Al-Hakim.
Kemudian Al-Khathieb Al-Baghdad (463 H), beliau mengarang beberapa macam kitab
ilmu hadits, yang dijadikan rujukan oleh ulama-ulama yang datang sesudahnya. Seperti
dalam masalah Qawaninur Riwayat (aturan-aturan periwayatan), beliau
menyusun kitab Al-Kifayah fi Qawaninur Riwayah dan dalam masalah
adab-adab riwayat beliau menyusun kitab Al-Jami’ li Adabibsy Syaikh was Sami’[26].
Setelah
itu ada Al-Qadli Iyadl (544) yang menyusun kitab Al-Ilma’ yang
pembahasannya diambil dari kitab-kitab Al-Khathieb dan setelah itu bermunculan
ulama-ulama yang menyusun ilmu seperti ini, seperti Al-Hafidh Taqiyuddin Abu
Amer Utsman Ibnush Shalah Ad Dimasyqi (642 H)[27]
dalam kitabnya Muqaddamah Ibnush Shalah atau Ulumul Hadits yang
dajarkan kepada murid-muridnya di perguruan Al-Asyrafiyah di Damaskus. Kitab
ini dinadhamkan oleh ulama-ulama berikutnya seperti Al-Iraqi dalam Alfiyahnya
yang kemudian disyarahkan olehnya sendiri dalam kitab Fathul Mughits dan
oleh Al Hafidh As Sakhawy. Ada juga ulama yang mengikhtisarkan seperti An
Nawawy dalam kitabnya Al-Irsyad yang diringkas dalam kitab At-Taqrib
yang selanjutnya disyarahkan oleh Jalal al-Din Abd al-Rahman ibn Abu Bakar
al-Suyuthi (911 H) dalam kitabnya At Tadrib al-Rawi fi Syarh Taqrib
al-Nawawi[28].
Demikian perkembangan ilmu hadits pada abad ini yang kemudian di sempurnakan
kembali oleh ulama-ulama yang datang belakangan.
2.
Masa Pertengahan (Abad 7 H sampai Abad 14 H)
Ulama
pada abad ini mencoba untuk menyempurnakan atas kitab-kitab yang telah ditulis
oleh ulama-ulama sebelumya seperti kitab Mukhtasar Muqaddamah Ibnush Shalah
yang paling baik ialah Ikhtishar Ulumil Hadits yang ditulis oleh
Al-Hafidh Ibnu Katsir Ad Dimasyqi (774 H), yang kemudian disyarahkan oleh
Al-Allamah Ahmad Muhammad Syakiz dalam kitab Al Ba’atsul Hatsits ala
Ma’rifati Ulumil Hadits.
Dan
dalam kitab Nukhbatul Fikar fi Mushtalahi Ahli Al-Atsar karya Al-Hafizh
Ibnu Hajar Al-Asqalani (852 H), merupakan kitab kecil yang diringkasan namun
termasuk ringkasan yang paling bagus dan paling baik susunan dan pembagiaanya,
serta telah disyarahkan oleh penyusunnya sendiri dalam kitab Nuzhatu
An-Nazhar.
Muhammad
bin Abdirrahman As-Sakhawi (902 H), juga menulis kitab tentang ilmu hadits
dalam sebuah karyanya dalam kitab Fathul Mughits fi Syarhi Alfiyati
Al-Hadits yang merupakan syarah paling lengkap atas kitab Alfiyah
Al-Iraqi. Dan kitab Fathul Baqi ala
Alfiyati Al-Iraqi karya Al-Hafizh Zainuddin As-Syaikh Zakaria bin Muhammad bin
Ahmad bin Zakaria Al-Anshari (925 H).[29]
3.
Masa Modern (Abad 14 H samapai Sekarang)
Perkembangan
ilmu hadits abad demi abad terus mengalami perkembangan dan penyempurnaan pada
abad ini yang terus menulis ilmu hadits dari ulama muhaditsin adalah Asy-Syaikh
Thahir Al-Jaziry (1338 H) dalam kitabnya Taujihun Nadhar ila Ilmi Usulil
Atsar, salah satu kitab yang mempunya nilai tinggi dalam ilmu hadits dan
As-Sayid Jamaluddin Al-Qasimy (1332 H) dengan kitabnya Qawaidut Tahdits
fi Fununil Hadits, suatu kitab yang banyak faedahnya dan sangat tertib
susunannya[30]
Ulama
kontemporer yang masih bergelut membahas dan mendalami ilmu hadits adalah Dr.
Mahmud At-Thahhan dalam karyanya yang berjudul Taisir Musthalah Al-Hadits[31].
Demikianlah
perkembangan ilmu hadits yang mengalami kemajuan dari waktu kewaktu untuk
menjadi sebuah ilmu yang sempurna.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar