I.
PENDAHULUAN
Perkembangan Bank Syariah di Indonesia dewasa ini berjalan dengan sangat pesat.
Walaupun demikian, jumlah bank, jumlah kantor bank dan jumlah total aset Bank Syariah masih sangat kecil apabila dibandingkan dengan bank konvensional. Banyak
faktor yang akan mempengaruhi percepatan perkembangan perbankan syariah di masa yang akan datang.
Salah satu faktor yang sangat penting adalah faktor hukum. Arah perkembangan perbankan
syariah di masa
yang
akan
datang masih akan sangat signifikan dipengaruhi oleh perkembangan infrastruktur hukum perbankan syariah di Indonesia.
II.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Bank Syariah
Dalam kerangka ekonomi umat
Islam, istilah bank memiliki konsep tersendiri, yakni bank Syariah, yang
beroperasi di atas dasar ajaran (syariah) Islam, yang memiliki prinsip
operasional berbeda dengan prinsip operasional bank konvensional (convensional
bank). Menurut Karnaen A. Perwataatmadja dan Syafi'i Antonio, bank Syariah
memiliki dua pengertian, yaitu:
1.
Bank
yang beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip syariah Islam;
Dalam
pengertian lain disebutkan bahwa yang dimaksud dengan bank Syariah adalah
lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa-jasa lain dalam
lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang operasionalnya disesuaikan
dengan prinsip syariah Islam. Dalam pengertian ini, usaha
bank akan selalu dikaitkan dengan masalah uang yang merupakan barang dagangan
utama.[2]
Selain itu, banyak juga
orang yang terjebak ke dalam pengertian bahwa bank Syariah itu sama dengan bank
tanpa bunga (Zero interest = bunga nol). Pengertian ini memang tidak
terlalu salah, karena bank Syariah tidak mengenal bunga. Namun pengertian bank
Syariah tidak hanya mesti sampai di situ, tetapi ia harus dipahami secara
komprehensif dan universal. Pemahaman tentang bank Syariah tidak hanya dilihat
dari aspek praktis operasional, tetapi harus pula dilihat dari perspektif
ekonomi makro ke-Islamannya.[3]
Berdasarkan keterangan di atas ada pula yang merumuskan bank
Syariah sebagai suatu lembaga keuangan yang fungsi utamanya menghimpun dana
untuk disalurkan kepada orang atau lembaga yang membutuhkannya dengan sistem
tanpa bunga.[4] Dengan singkat, Muhammad merumuskan, Bank Syariah adalah bank yang
beroperasi dengan tidak mengandalkan pada bunga. Bank Islam (Syariah) atau
biasa disebut dengan Bank tanpa bunga adalah lembaga keuangan/perbankan yang
operasional dan produknya dikembangkan berlandaskan pada Al-Qur’an dan Hadits
Nabi SAW. Dengan kata lain, Bank Islam (Syariah) adalah lembaga keuangan yang
usaha pokoknya memberikan pembiayaan dan jasa-jasa lainnya dalam lalu lintas
pembayaran serta peredaran uang yang pengoperasiannya disesuaikan dengan
prinsip syariat Islam.[5]
B.
Sejarah Bank Syariah di Indonesia
Perbankan Islam sekarang ini telah dikenal secara luas di belahan
dunia muslim dan Barat.[6] Berkembangnya bank-bank syariah di negara-negara Islam berpengaruh
ke Indonesia. Pada awal periode 1980-an, diskusi mengenai bank syariah sebagai
pilar ekonomi Islam mulai dilakukan. Para tokoh yang terlibat dalam kajian
tersebut adalah Karnaen A Perwataatmadja, M.Dawam Rahardjo, AM. Saefuddin, M.
Amien Azis, dan lain-lain.[7] Beberapa uji coba pada skala yang relatif terbatas telah
diwujudkan. Di antaranya adalah Baitut Tamwil-Salman, Bandung, yang sempat
tumbuh mengesankan. Di Jakarta juga dibentuk lembaga serupa dalam bentuk
koperasi, yakni Koperasi Ridho Gusti.
Akan tetapi, prakarsa lebih khusus untuk mendirikan bank Islam di
Indonesia baru dilakukan pada tahun 1990. Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada
tanggal 18-20 Agustus 1990 menyelenggarakan Lokakarya Bunga Bank dan Perbankan
di Cisarua, Bogor, Jawa Barat. Hasil lokakarya tersebut dibahas lebih mendalam
pada Musyawarah Nasional IV MUI yang berlangsung di Hotel Sahid Jaya Jakarta,
22-25 Agustus 1990. Berdasarkan amanat Munas IV MUI, dibentuk kelompok kerja
untuk mendirikan bank Islam di Indonesia. Kelompok kerja yang disebut Tim
Perbankan MUI, bertugas melakukan pendekatan dan konsultasi dengan semua pihak
terkait.
Bank Muamalat Indonesia lahir sebagai hasil kerja Tim Perbankan MUI
tersebut di atas. Akte Pendirian PT Bank Muamalat Indonesia ditandatangani pada
tanggal 1 November 1991[8].
Pada awal pendirian Bank Muamalat Indonesia, keberadaan bank
syariah ini belum mendapat perhatian yang optimal dalam tatanan industri
perbankan nasional. Landasan hukum operasi bank yang menggunakan sistem syariah
ini hanya dikategorikan sebagai '"bank dengan sistem bagi hasil; tidak
terdapat rincian landasan hukum syariah serta jenis-jenis usaha yang
diperbolehkan. Hal ini sangat jelas tercermin dari UU No. 7 Tahun 1992, di mana
pembahasan perbankan dengan sistem bagi hasil diuraikan hanya sepintas lalu dan
merupakan "sisipan" belaka.
Namun demikian, perkembangan perbankan syariah pada era reformasi
ditandai dengan disetujuinya Undang-Undang No. 10 Tahun 1998. Dalam
undang-undang tersebut diatur dengan rinci landasan hukum serta jenis-jenis
usaha yang dapat dioperasikan dan diimplementasikan oleh bank syariah.
Undang-undang tersebut juga memberikan arahan bagi bank-bank konvensional untuk
membuka unit layanan syariah atau bahkan mengkonversi diri secara total menjadi
bank syariah.
Peluang tersebut ternyata disambut antusias oleh masyarakat
perbankan. Sejumlah bank mulai memberikan pelatihan dalam bidang perbankan
syariah bagi para stafnya. Sebagian bank tersebut ingin menjajaki untuk membuka
divisi atau cabang syariah dalam institusinya. Sebagian lainnya bahkan
berencana mengkonversi diri sepenuhnya menjadi bank syariah. Hal demikian
diantisipasi oleh Bank Indonesia dengan mengadakan “Pelatihan Perbankan
Syariah" bagi para pejabat Bank Indonesia dari segenap bagian, terutama
aparat yang berkaitan langsung seperti DPNP (Direktorat Penelitian dan
Pengaturan Perbankan), kredit, pengawasan, akuntansi, riset, dan moneter.[9] Sebabnya masyarakat merespon positif terhadap munculnya bank
syariah adalah karena tingkat
kehalalannya lebih terjamin. Bank syariah dalam operasionalnya tanpa
bunga melainkan sistem bagi hasil. Sebab lainnya adalah karena bank
konvensional tidak mampu bertahan di saat krisis ekonomi, bahkan bank
konvensional turut andil atas keterpurukan ekonomi nasional.
Kemudian Bank Syariah Mandiri (BSM), sebagai salah satu bank yang dimiliki
oleh Bank Mandiri yang memiliki aset ratusan triliun dan networking yang
sangat luas, BSM memiliki beberapa keunggulan komparatif dibanding
pendahulunya. Demikian juga perkembangan politik terakhir di Aceh menjadi blessing
in disguise bagi BSM. Hal ini karena Bank Mandiri akan menyerahkan seluruh
cabangnya di Aceh kepada BSM untuk dikelola secara syariah. Langkah besar ini
jelas akan menggelembungkan aset BSM dari posisi pada akhir tahun 1999 sejumlah
Rp 400.000.000.000,00 (empat ratus miliar rupiah) menjadi di atas 2 hingga 3
triliun. Perkembangan ini diikuti pula dengan peningkatan jumlah cabang BSM,
yaitu dari 8 menjadi lebih dari 20 buah.[10] Satu
perkembangan lain perbankan syariah di Indonesia adalah diperbolehkannya
konversi cabang bank umum konvensional menjadi cabang syariah, seperti unit BNI
syariah, unit BRI syariah dan unit-unit lainnya.
Ketentuan tentang kegiatan usaha bank berdasarkan prinsip syariah
dalam UU No.7 Tahun 1992 sangat terbatas, yakni hanya menyangkut kegiatan
pembiayaan dan tidak diatur tentang penghimpunan dana. Maka diatur kembali
dalam UU yang baru secara lebih jelas, lengkap, dan lebih eksplisit/baik yang
menyangkut penghimpunan dana maupun penyediaan pembiayaan.
Dalam UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan UU No. 7 Tahun 1992
tentang Perbankan terdapat beberapa perubahan yang memberikan peluang yang
lebih besar bagi pengembangan perbankan syariah[11].
Dan sekarang telah disempurnakan UU. No.21 Tahun 2008 sebagai dasar pijakan
bagi perbankan syariah.
C.
Perbedaan bank syariah dan bank konvesional
Tabel
Perbedaan
Bank Syariah dan Bank Konvensional[12]
|
No
|
Perbedaan
|
Bank
Syariah
|
Bank
Konvensional
|
|
1
|
Falsafah
|
Tidak
berdasarkan bunga, spekulasi, dan ketidak jelasan
|
Berdasarkan
bunga
|
|
2
|
Operasionalisasi
|
-
Dana
masyarakat berupa titipan dan investasi yang baru akan mendapatkan hasil jika
diusahakan terlebih dahulu.
-
Penyaluran
pada usaha yang halal dan menguntungkan.
|
-
Dana
masyarakat berupa simpanan yang harus dibayar bunganya pada saat jatuh tempo.
-
Penyaluran
pada sektor yang menguntungkan aspek halal tidak menjadi pertimbangan utama.
|
|
3
|
Aspek
sosial
|
Dinyatakan
secara eksplisit dan tegas yang tertuang dalam misi dan visi.
|
Tidak
diketahui secara tegas.
|
|
4
|
Organisasi
|
Harus
memiliki Dewan Pengawas Syariah
|
Tidak
memiliki Dewan Pengawas Syariah
|
D.
Prinsip-pinsip Bank Syariah
Bank Islam (Syariah) dalam menjalankan usahanya mempunyai prinsip operasional yang terdiri dari (1)
sistem simpanan; (2) bagi hasil; (3)
margin keuntungan; (4) sewa; (5) fee
(1)
Prinsip
Simpanan Murni
Prinsip
simpanan murni merupakan fasilitas yang diberikan oleh Bank Islam untuk
memberikan kesempatan kepada pihak yang kelebihan dana untuk menyimpan dananya
dalam bentuk Al Wadiah. Fasilitas Al Wadiah biasa diberikan untuk
tujuan investasi guna mendapatkan keuntungan seperti halnya tabungan dan
deposito. Dalam dunia perbankan konvensional al Wadiah identik dengan
giro.
(2)
Bagi
Hasil
Sistem
ini adalah suafu sistem yang meliputi tata cara pembagian hasil usaha antara
penyedia dana dengan pengelola dana. Pembagian hasil usaha ini dapat terjadi
antara bank dengan peyimpan dana, maupun antara bank dengan nasabah penerima
dana. Bentuk produk yang berdasarkan prinsip ini adalah Mudharabah dan
Musyarakah. Lebih jauh prinsip Mudharabah dapat dipergunakan sebagai dasar baik
untuk produk pendanaan (tabungan dan deposito) maupun pembiayaan, sementara
musyarakah lebih banyak untuk pembiayaan.
(3)
Prinsip
Jual Beli dan Margin Keuntungan
Prinsip
ini merupakan suatu sistem yang menerapkan tata cara jual beli, dimana bank
akan membeli terlebih dahulu barang yang dibutuhkan atau mengangkat nasabah
sebagai agen bank melakukan pembelian barang atas nama bank, kemudian bank
menjual barang tersebut kepada nasabah dengan harga sejumlah harga beli
ditambah keuntungan (margin/mark-up).[13]
(4)
Prinsip
Sewa
Prinsip
ini secara garis besar terbagi kepada 2 jenis:
a.
Ijarah, sewa murni, seperti halnya penyewaan traktor dan alat- alat
produk lainnya (operating lease). Dalam teknis perbankan, Bank dapat
membeli dahulu equipment yang dibutuhkan nasabah kemudian mehyewakan
dalam waktu dan hanya yang telah disepakati kepada nasabah.
b. Bai al takjiri atau ijarah al muntahiya bit tamlik merupakan penggabungan
sewa dan beli, dimana si penyewa mempunyai hak untuk memiliki barang pada akhir
masa sewa (finansial lease).
(5)
Prinsip
fee (Jasa)
Prinsip
ini meliputi seluruh layanan non-pembiayaan yang diberikan bank. Bentuk produk
yang berdasarkan prinsip ini antara lain Kliring,
JasaTransfer, dll[14].
E.
Produk-Produk Bank Syariah
Produk perbankan syariah dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu;
produk penyaluran dana, produk penghimpun dana dan produk yang berkaitan dengan
jasa yang diberikan perbankan terhadap nasabahnya[15].
Dalam Peraturan Bank Indonesia
No.7/46/PBI/2005
telah
menetapkan
syarat untuk berbagai produk perbankan syariah baik berupa penghimpunan
dana maupun penyaluran
dana.
Dibidang penghimpunan dana telah diatur simpanan yang bersifat titipan, yakni giro wadi’ah,
dan
tabungan
wadi’ah
juga simpanan
bersifat investasi,
yakni : giro mudharabah, tabungan mudharabah dan deposito mudharabah[16].
Pada bidang penyaluran dana, Peraturan Bank Indonesia
dimaksud telah mengatur dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 18 Peraturan Bank Indonesia No.7/46/PBI/2005 bahwa produk – produk penyaluran dana dalam perbankan syariah
yaitu Mudharabah, Musyarakah, Murabahah, Salam, Istishna’, Ijarah dan Ijarah Muntahiyya Bit Tamlik serta Qardh[17].
Sebagai tindak lanjut dari Peraturan Bank Indonesia, sewa menyewa yang disebut juga ijarah diatur
lebih
lanjut dalam Surat
Keputusan Direksi Bank Indonesia No.32/34/KEP/DIR tanggal
12 Mei
1999
tentang
Bank
Umum Berdasarkan Prinsip Syariah terutama dalam pasal 28 yang menyebutkan bahwa bank
wajib menerapkan Prinsip Syariah dalam melakukan kegiatan usahanya dan telah disempurnakan dalam UU. No. 21 tahun
2008 tentang perbankan syariah yang usahanya meliputi:
1. Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan yaitu:
a. Giro berdasarkan prinsip wadi’ah[18]
b. Tabungan berdasarkan prinsip wadi’ah atau mudharabah
c. Deposito berjangka berdasarkan prinsip mudharabah
d. Bentuk lain berdasarkan prinsip wadi’ah atau mudharabah
2. Melakukan penyaluran dana melalui transaksi jual beli berdasarkan prinsip:
a.
Murabahah
b.
Salam
c.
Istishna
d.
Ijarah
e.
Jual
beli lainnya
3. Pembiayaan bagi hasil berdasarkan prinsip :
a. Mudharabah
b. Musyarakah
c. Bagi hasil lainnya[19]
4. Pembiayaan lainnya berdasarkan prinsip :
a.
Hiwalah
Jadi, Prinsip pembiayaan
dalam
bank
syariah
terbagi menjadi
empat, yaitu prinsip jual
beli/bai’, prinsip sewa/ijarah, prinsip bagi hasil/syirkah,
dan prinsip pelengkap.
Prinsip
jual beli dan sewa memiliki karakteristik natural certainty contract, yang berarti
bawa
kontrak dilakukan
dengan menentukan
secara pasti
nilai
nominal
dari keuntungan di awal kontrak perjanjian. Prinsip jual beli didasarkan pada transaksi riil (pembelian barang atau jasa dilakukan oleh bank syariah kemudian nasabah mengangsur kepada bank syariah). Nasabah tidak akan secara langsung mendapatkan uang tunai dari bank syariah. Produk pembiayaan yang menggunakan prinsip jual beli adalah murabahah, salam, dan istishna.
Prinsip bagi hasil memiliki karakteristik natural uncertainty
contract, yang berarti kontrak dilakukan tidak dengan menyepakati nominal keuntungan yang akan diterima melainkan menyepakati nisbah
bagi
hasil yang
akan
diterima sehingga
tidak
ada kepastian nilai nominal yang akan
diterima karena tergantung pada keuntungan usaha.
Prinsip ini mengharuskan pemanfaatan dana pada bank syariah menggunakan dana yang dimohon untuk usaha produktif. Produk pembiayaan yang menggunakan prinsip bagi hasil adalah musyarakah dan mudharabah.
Prinsip
pelengkap
dalam bank syariah pada
dasarnya adalah prinsip tabaru’ (kebaikan). Jadi,
tidak ada keuntungan
yang
disepakati pada kontrak perjanjian. Transaksi tidak bermotifkan keuntungan, tetapi diperbolehkan mengenakan biaya administrasi.
Jelaslah
bahwa bank syariah dapat melakukan kegiatan untuk menerima penyimpanan dana, dan dapat menyalurkan pembiayaanya itu menyediakan sejumlah
dana sebagaimana diuraikan lebihlanjut dalam PBI Nomor9/19/PBI/2007[21].
Dan kini telah diatur dengan jelas dalam UU. No. 21 tahun 2008 tentang
perbankan syariah[22].
F.
Penyelesaian Sengketa di Bank Syarih
Dalam sejarah Islam, ketika terjadi beda pendapat atau sengketa
antara para pihak baik dalam bidang keluarga maupun dalam bidang bisnis, maka
lembaga yang dapat menyelesaikan sengketa tersebut adalah melalui mekanisme
perdamaian (al-sulh), arbitrase (al-tahkim) dan pengadilan (al-qadha)[23].
Dalam pasal 55 UU. No. 21 Tahun 2008 dikatakan bahwa penyelesaian
sengketa dalam perbankan syariah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkup
Pengadilan Agama[24].
III.
KESIMPULAN
Pada dasarnya pengaturan hukum kegiatan usaha bank syariah diupayakan untuk diberlakukan secara “equal treatment regulations” atau prinsip kesetaraan hukum. Namun demikian kadangkala terdapat pengaturan yang bersifat khusus terhadap kegiatan usaha bank syariah yang disesuaikan dengan karakter usaha bank Syariah itu
sendiri, karena memiliki perbedaan yang sangat mendasar dibandingkan bank konvensional.
Pengembangan praktik- praktik
kegiatan ekonomi syariah akan lebih sejalan dan saling mendukung dengan pengembangan infrastruktur hukum perbankan syariah (ekonomi syariah). Karena hukum harus sedemikian rupa
untuk mendorong perkembangan perbankan syariah. UU. No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah diharapkan dapat menjawab sebagian persoalan dan keragu-raguan mengenai arah perkembangan perbankan syariah ke depan, termasuk arah perkembangan hukum yang mengatur kegiatan perbankan syariah.
Daftar Pustaka
Antonio, Karnaen A. Perwataatmadja
dan Syafi’i, Apa dan Bagaimana Bank Syariah (Yogyakarta: Dana Bhakti
Wakaf, 1992).
Antonio, Muhamad Syafi’i, Bank
Syariah dari Teori ke Praktek (Jakarta: Gema Insani Press, 2003).
Aziz,M. Amin, Mengembangkan Bank Islam di Indonesia,
(Jakarta: Bankit, 1992).
Dahlan Abdul Aziz, dkk (Ed.), Ensiklopedi Hukum Islam (Jakarta: Ikhtiar Baru van
Hoeve, 1997).
Djamil, Faturrahman, Penyelesaian Pembiayaan Bermasalah
di Bank Syariah (Jakarta: Sinar Grafika, 2012).
Janwari, Djazuli dan Yadi, Lembaga-lembaga Perekonomian Umat
(Sebuah Pengenalan) (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2002).
Muhammad, Bank Syariah:
Analisis, Kekuatan, Peluang,
Kelemahan dan Ancaman, (Yogyakarta: Ekonisia, 2003).
--------------, Konstruksi Mudharabah
Dalam Bisnis Syariah (Yogyakarta: Pusat Studi
Ekonomi Islam, 2003).
--------------, Manajemen Dana Bank Syariah, (Yogyakarta: Ekonisia, 2004).
Saeed, Abdullah, Bank Islam dan Bunga, terj. Muhammad
Ufuqul Mubin dkk. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2003).
Sudarsono, Heri, Bank dan Lembaga
Keuangan Syariah (Yogyakarta: Ekonisia, 2003).
Zuhdi, Masjfuk, Masail Fiqhiyah
(Jakarta: CV. Haji Masagung, 1988).
E-book Perbakan Syariah (Jakarta: Pusat Komunkasi Ekonomi
Syariah, 2008)
Arief R. Permana dan Anton Purba, Sekilas Ulasan UU
Perbankan Syariah dalam Buletin Hukum Perbakan dan Kebank Sentralan vol. 6
no. 2, Agustus 2008.
Bank Indonesia, Petunjuk
Pelaksanaan Pembukaan Kantor Bank Syariah, (Jakarta: Bank Indonesia, 1999)
Bank Muamalat, Annual Report (Jakarta: 1999).
UU. No. 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah
Peraturan bank Indonesia
no. 7/46/PBI/2005
Peraturan
Bank Indonesia
Nomor9/19/PBI/2007
[1] Karnaen A. Perwataatmadja dan Syafi’i Antonio, Apa dan Bagaimana
Bank Syariah (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1992), hlm. 1.
[2] Abdul Aziz Dahlan, dkk (Ed.). Ensiklopedi Hukum Islam
(Jakarta: Ikhtiar Baru van Hoeve, 1997), hlm; 194.
[3] Djazuli dan Yadi Janwari, Lembaga-lembaga Perekonomian
Umat (Sebuah Pengenalan) (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), 54-55.
[5] Muhammad, Konstruksi Mudharabah Dalam Bisnis Syariah
(Yogyakarta: Pusat Studi Ekonomi Islam, 2003) hlm. 13.
[6] Abdullah Saeed, Bank Islam dan Bunga, terj.
Muhammad Ufuqul Mubin, dkk. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hlm. 1.
[8] Pada saat
penanda-tanganan akte pendirian ini terkumpul komitmen pembelian saham sebanyak
Rp 84 miliar. Pada tanggal 3 November 1991, dalam acara silaturahmi Presiden di
Istana Bogor, dapat dipenuhi dengan total komitmen modal disetor awal sebesar
Rp l06.126.382.000,00. Dengan modal awal tersebut, pada tanggal 1 Mei 1992,
Bank Muamalat Indonesia mulai beroperasi. Hingga September 1999, Bank Muamalat
Indonesia telah memiliki lebih 45 outlet yang tersebar di Jakarta, Bandung,
Semarang, Surabaya, Balikpapan, dan Makasar.Bank Muamalat, Annual Report (Jakarta: 1999), hlm 26
[9] Bank Indonesia, Petunjuk Pelaksanaan Pembukaan Kantor
Bank Syariah, (Jakarta: Bank Indonesia, 1999), hlm 26
[10] Merupakan bank milik pemerintah pertama yang melandaskan
operasionalnya pada prinsip syariah. Secara struktural, BSM berasal dari Bank Susila
Bakti (BSB), sebagai salah satu anak perusahaan di lingkup Bank Mandiri (ex
BDN), yang kemudian dikonversikan menjadi bank syariah secara penuh. Dalam
rangka melancarkan proses konversi menjadi bank syariah, BSM menjalin kerja
sama dengan Tazkia Institute, terutama dalam bidang pelatihan dan pendampingan
konversi. Muhamad Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktek (Jakarta: Gema Insani Press, 2003) hlm. 25-27.
[11] Dari UU tersebut kita bisa menangkap bahwa sistem
perbankan syariah dikembangkan dengan tujuan, antara lain, sebagai berikut. Pertama,
Memenuhi kebutuhan jasa perbankan bagi masyarakat yang tidak dapat menerima
konsep bunga. Dengan diterapkannya sistem perbankan syariah yang berdampingan
dengan sistem perbankan konvensional, mobilisasi dana masyarakat dapat
dilakukan secara lebih luas terutama dari segmen yang selama ini belum dapat
tersentuh oleh sistem perbankan konvensional yang menerapkan sistem bunga. Kedua,
Membuka peluang pembiayaan bagi pengembangan usaha berdasarkan prinsip
kemitraan. Dalam prinsip ini, konsep yang diterapkan adalah hubungan investor
yang harmonis (mutual investor relationship). Sementara dalam bank
konvensional konsep yang diterapkan adalah hubungan debitur dan kreditur (debtor
to creditor relationship). Ketiga,
Memenuhi kebutuhan akan produk dan jasa perbankan yang memiliki beberapa
keunggulan komparatif berupa peniadaan pembebanan bunga yang berkesinambungan (perpetual
interest effect), membatasi kegiatan spekulasi yang tidak produktif (unproductive
speculation), pembiayaan ditujukan kepada usaha-usaha yang lebih
memperhatikan unsur moral. Lihat Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan
Syariah (Yogyakarta: Ekonisia, 2003), hlm. 33.
[13] Muhammad, Bank Syariah: Analisis, Kekuatan,
Peluang, Kelemahan dan Ancaman,
(Yogyakarta: Ekonisia, 2003), hlm. 17-18
[14]Muhammad, Konstruksi Mudharabah Dalam Bisnis Syariah,
hlm. 27.
[16] Untuk lebih jelasnya
mengenai ketentuan tersebut lihat pada lampiran pasal 3 – 5
Peraturan bank Indonesia no. 7/46/PBI/2005
[17] lihat pasal
6 –
18 PBI no.7/46/PBI/2005
[18] Prinsip wadi’ah yang
diterapkan adalah prinsip wadi’ah yad dhamanah yang diterapkan pada produk rekening giro. Lihat Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah. hlm. 75.
[20] Lihat SK Direksi Bank Indonesia No. 32/34/KEP/DIR tanggal 12 mei 1999. Lihat juga
pada: Muhamamd, Manajemen Dana Bank Syariah, (Yogyakarta: Ekonisia, 2004), hlm.
6 –
7.
[21] Dalam pasal 1 ayat 3 menyatakan bahwa Pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan/piutang yang dapat dipersamakan dengan itu dalam; Pertama, Transaksi investasi yang didasarkan antara lain atas Akad Mudharabah dan/atau Musyarakah. Kedua, Transaksi sewa
yang
didasarkan
antara
lain atas Akad
Ijarah
atau Akad
Ijarah dengan opsi perpindahan hakmilik (Ijarah Muntahiyyah bit Tamlik). Ketiga,
Transaksi jual beli yang didasarkan antara lain atas AkadMurabahah, Salam, dan Istishna.
Keempat, Transaksi pinjaman yang didasarkan antara lain atas Akad Qardh.
Kelima, Transaksi multijasa yang didasarkan antara laina tas Akad Ijarah atau Kafalah. Lihat Peraturan
Bank Indonesia
Nomor9/19/PBI/2007 tentang
pelaksanaan prinsip syariah dalam kegiatan penghimpunan dan penyaluran dana
serta pelayanan jasa Bank syariah dan dijelas pula dalam UU. No. 21
Tahun 2008.
[23] Pada kata perdamaial (sulh) adalah meredam
pertikaian.atau suatu jenis kesepakatan untuk mengakhiri perselisihan antar dua
orang yang bersengketa secara damai. Sedangkan arbitrase adalah cara
penyelesaian suatu engketa perdata diluar peradilan umum (dan peradilan agma)
yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para
pihak yang bersengketa. Lihat Faturrahman Djamil, Penyelesaian Pembiayaan
Bermasalah di Bank Syariah (Jakarta: Sinar Grafika, 2012) hlm. 106.
[25] Arief R. Permana dan Anton Purba, Sekilas Ulasan UU
Perbankan Syariah dalam Buletin Hukum Perbakan dan Kebank Sentralan vol. 6
no. 2, Agustus 2008.