Jumat, 25 Januari 2013

Sejarah Perkembangan Ilmu Hadits




I.         PENDAHULUAN
Sebagai sumber hukum Islam yang kedua setelah al-Qur’an, hadits Nabi memiliki fungsi strategis dalam kajian-kajian keislaman. Namun karena pembukuan hadits baru dilakukan dalam rentan waktu yang cukup lama sejak meninggalnya Nabi, ditambah kenyataan sejarah bahwa hadis pernah dipalsukan dengan berbagai motif, maka orisinalitas hadits yang beredar di kalangan umat Islam patut diteliti. Pada sisi lain, kenyataan sejarah tersebut juga sering dijadikan celah dan starting point  oleh musuh-musuh Islam untuk merongrong akidah umat supaya mau berpaling dari hadits Nabi. Lebih-lebih diketahui bahwa lingkungan Nabi hidup ketika itu kurang akrab dengan budaya tulis-menulis. Karena itu keabsahan dan orisinalitas hadits yang ada memang harus diteliti.
Para ulama, sejak masa-masa awal Islam telah menunjukkan dedikasi untuk melakukan penelitian dan seleksi ketat terhadap hadits-hadits Nabi. Hal itu dimaksudkan untuk melestarikan hadits Nabi sebagai sumber ajaran agama yang orisinal. Untuk tujuan mulia itu, mereka kemudian menciptakan seperangkat kaidah, istilah, norma dan metode. Kaidah-kaidah itu, kemudian karena pertimbangan kebutuhan, lantas dibakukan oleh ulama belakangan, baik yang berhubungan dengan sanad maupun matan hadits. Tanpa pemahaman yang paripurna terhadap kaidah, norma dan metode tersebut, sulit bagi seseorang untuk mengetahui orisinalitas dan keabsahan hadits Nabi.
Sekalipun demikian, pemahaman terhadap berbagai istilah dan kaidah itu tampaknya juga belum menjamin para pengkaji hadits akan mampu meneliti dan memahami hadits secara benar. Dinyatakan demikian, karena kompleksitas permasalahannya memang sangat beragam. Untuk menghindari kesalahan dalam meneliti dan memahami hadits, maka ulama hadits, sesuai  dengan keahlian masing-masing, kemudian juga menciptakan seperangkat ilmu. Cabang-cabang pengetahuan itu ada yang berhubungan dengan sanad, ada yang berhubungan dengan matan, dan ada yang berhubungan dengan sanad dan matan.Karena berbagai istilah, kaidah dan cabang pengetahuan yang berkaitan dengan hadits begitu banyak, maka dengan sendirinya jumlah dan jenis kitab yang membahas hadits Nabi juga begitu banyak.

II.      PEMBAHASAN

A.       Pengertian Ilmu Hadits
Ilmu hadits (Ulum al-Hadits), secara kebahasaan berarti ilmu-ilmu tentang hadits. Secara etimologis, seperti yang telah diungkapkan oleh As-Suyuti, ilmu hadits adalah
عِلْمٌ يُبْحَثُ فِيْهِ عَنْ كَيْفِيَةِ إِتِّصَالِ اْلحَدِيْثِ بِرَسُوْلِ اللهِ ص. م. مِنْ حَيْثُ أَحْوَالِ رِوَاتِهِ ضَبْطًا وَعَدَالَةً وَمِنْ حَيْثُ كَيْفِيَّةِ السَّنَدِ اِتِّصَالاً وَانْقَطَا عًا وَغَيْرِ ذلِكَ.

“Ilmu pengetahuan yang membicarakan cara-cara persambungan hadits sampai kepada Rasul SAW, dari segi hal ikhwal para rawinya, yang menyangkut kedhobitan dan keadilannya dan dari bersambung dan terputusnya sanad dan sebagainya”[1].
Prof. Dr. T. M. Hasbi ash-Shiddieqy yang dikutip oleh Abdullah Karim, mendefinisikan Ulum  al-Hadits adalah ilmu-ilmu yang berpautan dengan hadits. Semua ilmu yang berkaitan dengan hadits, dapat diistilahkan dengan ilmu hadits, yang bentuk jamaknya adalah Ulum al-Hadits. Walaupun macam ilmu-ilmu hadits itu banyak, namun dapat dikategorikan pada dua rumpun ilmu, yaitu Ilmu Hadits Riwayah dan Ilmu Hadits Dirayah[2].
1.      Ilmu Hadits Riwayah
Kata riwayah artinya meriwayatkan, menceritakan, memindahkan. Menurut para ulama yang dikutip oleh Abdul Hakim bin Amir Abdat adalah suatu macam ilmu tentang meriwayatkan sabda-sabda Nabi SAW, perbuatan-perbuatannya, taqrir-taqrirnya dan sifat-sifatnya. Karena ilmu ini sifatnya hanya mengumpulkan hadits-hadits saja tanpa memeriksa sah atau tidaknya yang orang sandarkan kepada Nabi SAW[3].   
Menurut Ibn al-Akfani, sebagaimana yang dikutip oleh Al-Suyuthi dalam bukunya Nawir Yuslem, bahwa yang dimaksud dengan ilmu hadits riwayah adalah:
 عِلْمُ اْلحَدِيْثِ اْلخَا صُّ بِالرِّوَايَةِ عِلْمٌ يَشْتَمِلُ عَلَى نَقْلِ أَقْوَالِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَفْعَالِهِ وَرِوَايَتِهَا وَضَبْتِهَا وَتَحْرِيْرِ أْلفَاظِهَا.
“Ilmu hadits yang khusus berhubungan dengan riwayah adalah ilmu yang meliputi pemindahan (periwayatan) perkataan Nabi SAW dan perbuatannya, serta periwayatannya, pencatatannya, dan penguraian lafaz-lafaznya”.

Definisi yang hampir senada juga dikatakan oleh Zafar Ahmad Ibn Lathif al-Utsmani al-Tahanawi di dalam bukunya Qawa’id fi Ulum al-Haditsnya;
عِلْمُ اْلحَدِيْثِ اْلخَا صُّ بِالرِّوَايَةِ هُوَ: عِلْمٌ يُعْرَفُ بِهِ أَقْوَالِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَفْعَالُهُ وَ أَحْوَالُهُ وَرِوَايَتُهَا وَضَبْطُهَا وَتَحْرِيْرُأَلْفَاظِهَا.
“ Ilmu hadits yang khusus dengan riwayah adalah ilmu yang dapat diketahui dengannya perkataan , perbuatan dan keadaan Rasul SAW serta periwayatan, pencatatan, dan penguraian lafaz-lafaznya”. 

Dari definisi di atas dapat dipahami bahwa ilmu hadits riwayah pada dasarnya membahas tentang tata cara periwayatan, pemeliharaan, dan penulisan atau pembukuan hadits Nabi SAW[4].
Ilmu hadits riwayah ini sudah ada semenjak Nabi SAW masih hidup, yaitu bersamaan dengan dimulainya periwayatan hadits itu sendiri. Para sahabat Nabi SAW menaruh perhatian yang tinggi terhadap hadits Nabi, mereka berupaya untuk memperoleh hadits Nabi SAW dengan cara mendatangi majlis Rasul SAW serta mendengar serta menyimak pesan atau nasihat yang disampaikan beliau[5].
Ulama yang terkenal dan dipandang sebagai pelopor ilmu hadits riwayah adalah Abu Bakar Muhammad bin Syihab Az-Zuhri (51-124 H), seorang imam dan ulama besar di Hedzjaz (Hijaz) dan Syam sebagai ulama pertama yang menghimpun hadits Nabi SAW, atas perintah Khalifah Umar bin Abdul Aziz (99 H/717 M-102 H/720 M)[6].
Adapun faedah dengan adanya ilmu hadits riwayah adalah
a.       Supaya kita dapat membedakan mana yang orang sandarkan kepada Nabi SAW dan mana yang disandarkan kepada selain beliau.
b.      Agar supaya hadits tidak beredar dari mulut kemulut atau dari satu tulisan ke tulisan yang lain tanpa sanad.
c.       Agar dapat diketahui jumlah hadits yang orang sandarkan kepada Nabi SAW.
d.      Agar dapat diperiksa sanad[7] dan matan[8]-nya sah atau tidaknya[9].

2.      Ilmu Hadits Dirayah
Ilmu hadits dirayah ialah pembahasan masalah untuk mengetahui keadaan rawi dan yang diriwayatkan, untuk mengetahui apakah bisa diterima atau ditolak[10].
Definisi yang lain seperti halnya yang diungkapkan oleh Izzuddin bin Jama’ah yang dikutip oleh M. Agus Solahudin dan Agus Suyadi  adalah:
عِلْمُ بِقَوَانِيْنَ يُعْرَفُ بِهَا أَحْوَالُ السَّنَدِ وَاْلمَتْنِ.
“Ilmu yang membahas pedoman-pedoman yang dengannya dapat diketahui keadaan sanad dan matan”[11].

Ibnu al-Akfani yang dikutip oleh Munzier Suparta mendefinisikan ilmu hadits dirayah sebagai berikut:
علم يعرف منه حقيقة الر واية وشروطها وأنواعها وأحكا مها وحال الرواة وشروطهم واصناف المرويا ت وما يتعلق بها.
“Ilmu pengetahuan untuk mengetahui hakikat periwayatan, syarat-syarat, macam-macam dan hukum-hukumnya serta untuk mengetahui keadaan para perawi, baik syarat-syaratnya, macam-macam hadits yang diriwayatkan dan segala yang berkaitan dengannya”.  
Yang dimaksud dengan:
-          Hakikat periwayatan adalah penukilan hadits dan penyandarannya kepada sumber hadits atau sumber berita.
-          Syarat-syarat periwayatan adalah penerimaan perawi terhadap hadits yang akan diriwayatkan dengan bermacam-macam cara penerimaan, seperti melalui al-Sama’ (pendengaran), al-Qira’ah (pembacaan), al-Washiah (berwasiat), al-Ijazah (pemberian izin dari perawi).
-          Macam-macam periwayatan adalah membicarakan sekitar bersambung dan terputusnya periwayatan dan lain-lain.
-          Hukum-hukum periwayatan adalah pembicaraan sekitar diterima atau ditolaknya suatu hadits.
-          Keadaan para perawi ialah pembicaraan sekitar keadilan, kecacatan para perawi, dan syarat-syarat mereka dalam menerima dan meriwayatkan hadits.
-          Macam-macam hadits yang diriwayatkan meliputi hadits-hadits yang dapat dihimpun pada kitab-kitab hadits[12].   
Dari pengertian tersebut, kita bisa mengetahui bahwa ilmu hadits dirayah adalah ilmu yang mempelajari kaidah-kaidah untuk mengetahui hal ihwal sanad, matan, cara menerima dan menyampaikan hadits, sifat rawi dan lain-lain[13]. Dan ilmu hadits dirayah inilah yang pada masa selanjutnya secara umum dikenal dengan ulumul hadits, musthalah al-hadits atau ushul al-hadits. keseluruhan nama-nama tersebut meskipun bervariasi, namun mempunyai arti dan tujuan yang sama, yaitu ilmu yang membahas tentang kaidah-kaidah untuk mengetahui keadaan perawi (sanad) dan marwi (matan) suatu hadits, dari segi diterima dan ditolaknya[14]
Ilmu hadits dirayah mulai dibahas pada pertengahan abad ke-2 H. Akan tetapi pada waktu itu masih belum merupakan ilmu yang berdiri sendiri. Buku-buku yang berkaitan dengan ilmu ini antara lain ditulis oleh Aliy Ibnu al-Madini (161-234 H), al-Bukhari (198-252 H), at-Turmuzi (200-279 H). Ilmu ini mulai ditulis dalam sebuah buku secara khusus oleh al-Qadi Ibnu Muhammad ar-Ramahhurmuzi (265-360 H) dengan judul al-Muhaddis al-Fasil Bayn ar-Rawi wa al-Wa’iy. Kemudian disusul oleh al-Hakim Abu Abdillah Abu Abdillah an-Naysaburi (321-405 H), selanjudnya Abu Nu’aym al-Isbahani, berikutnya al-Khatib Abu Bakr al-Bagdadi (w. 463 H) dan lain-lain[15].       
Adapun tujuan dan faedah ilmu hadits dirayah adalah:
1.      Mengetahui pertumbuhan dan perkembangan hadits da ilmu hadits dari masa ke masa sejak masa Nabi SAW sampai sekarang.
2.      Mengetahui tokoh-tokoh dan usaha-usaha yang telah dilakukan dalam mengumpulkan, memelihara, dan meriwayatkan hadits.
3.      Mengetahui kaidah-kaidah yang dipergunakan oleh para ulama dalam mengklasifikasikan hadits lebih lanjut.
4.      Mengetahui istilah-istilah, nilai-nilai dan kriteria-kriteria hadits sebagai pedoman dalam menentukan suatu hukum syara’[16].
Dengan melihat uraian ilmu hadits riwayah dan ilmu hadits dirayah di atas, tergambarkan adanya kaitan yang sangat erat, antara yag satu dengan yang lainnya. Hal ini karena, setiap ada periwayatan hadits tentu ada kaidah-kaidah yang dipakai dan diperlukan, baik dalam penerimaannya maupun penyampaiannya kepada pihak lain. Sejalan dengan perjalanan ilmu hadits riwayah, ilmu hadits dirayah juga terus berkembang menuju kesempurnaannya sesuai dengan kebutuhan yang berkaitan langsung dengan perjalanan hadits riwayah. Oleh karena itu, tidak mungkin ilmu hadits riwayahberdiri tanpa ilmu hadits dirayah, begitu juga sebaliknya[17].         
 
B.       Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Ilmu Hadits
Ilmu ini pada dasarnya telah tumbuh sejak zaman Nabi SAW masih hidup. Akan tetapi ilmu ini terasa diperlukan setelah Nabi SAW wafat, terutama sekali ketika umat Islam memulai upaya mengumpulkan hadits dan mengadakan perlawatan yang mereka lakukan, sudah barang tentu secara langsung atau tidak,memerlukan kaidah-kaidah guna menyeleksi periwayatan hadits. Pada perkembangan berikutnya kaidah-kaidah itu semakin disempurnakan oleh para ulama yang muncul pada abad kedua dan ketiga Hijriyah, baik mereka yang mengkhususkan diri dalam mempelajari bidang hadits, maupun bidang-bidang lainnya, sehingga menjadi satu disiplin ilmu yang berdiri sendiri[18].
Uraian berikut akan menitkberatkan sejarah pertumbuhan dan perkembangan ilmu hadits menjadi tiga periodesasi yaitu awal lahirnya ilmu hadits sampai pada masa kekininan.


1.      Masa Klasik (Masa Nabi SAW sampai Abad 7 H)
Hadits-hadits Nabi yang terhimpun di dalam kitab-kitab hadits yang ada sekarang adalah hasil kesungguhan para sahabat dalam menerima dan memelihara dimasa Nabi SAW dahulu. Apa yang telah diterima oleh sahabat dari Nabi SAW disampaikan pula oleh mereka kepada sahabat lain yang tidak hadir ketika itu, dan selanjutnya mereka menyampaikannya kepada generasi berikutnya dan demikianlah seterusnya hingga sampai kepada perawi terakhir yang melakukan kodifikasi hadits.
Cara penerimaan hadits dimasa Nabi SAW tidak sama dengan penerimaan hadits di masa generasi sesudahnya. Penerimaan hadits dimasa Nabi SAW dilakukan oleh sahabat dekat beliau, seperti Khulafa’ al-Rasyidin dan dari kalangan sahabat lainnya. Para sahabat Nabi mempunyai minat yang besar untuk memperoleh hadits Nabi SAW, oleh karenanya mereka berusaha keras mengikuti Nabi SAW agar ucapan, perbuatan dan taqrir beliau dapat mereka terima atau lihat secara langsung[19]. Apabila diantara mereka ada yang berhalangan, maka mereka mencari sahabat yang kebe Ketigatulan mengikuti atau hadir bersama Nabi SAW ketika itu untuk meminta apa yang mereka peroleh dari beliau[20].
Pada masa ini kritik atau penelitian terhadap suatu riwayat (hadits) yang menjadi cikal bakal ilmu hadits terutama ilmu hadits dirayah  dilakukan dengan cara yang  sederhana sekali. Apabila seorang sahabat ragu-ragu menerima suatu riwayat dari sahabat lainnya, ia segera menemui Nabi SAW atau sahabat lain yang dapat dipercaya untuk mengonfirmasikannya. Setelah itu, barulah ia menerima dan mengamalkan hadits tersebut[21].
Pada masa Sahabat yang dimulai dari khalifah  Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali, begitu pula dengan khalifah-khalifah sesudahnya, terus menjunjung tinggi hadits-hadits Nabi SAW. Adapun perhatian khulafa al-rasyidin terhadap hadits pada dasarya adalah:
a.       Para khulafa al-rasyidin dan para sahabat berpegang bahwa hadits adalah dasar Tasyri’, maka setiap amalan syariat Islam selalu berpedoman kepada hadits disamping al-Quran yang menjadi dasar hukum umat Islam.
b.      Para sahabat berusaha mentablighkan segala hadits yang diterima mereka.
Namun periwayatan hadits dipermulaan masa sahabat terutama pada masa Abu Bakar dan Umar, masih terbatas sekali disampaikan kepada yang memerlukan saja , belum bersifat pelajaran.
Dalam prakteknya, cara sahabat meriwayatkan hadits ada dua, yakni:
a.       Dengan lafazh asli, yakni menurut lafazh yang mereka terima dari Nabi SAW yang mereka hafal benar lafazh dari Nabi.
b.      Dengan maknanya saja, yakni mereka meriwayatkan maknanya bukan dengan lafazhnya karena tidak hafal lafazh yang asli dari Nabi SAW.
Suasana masyarakat masa khulafa al-rasyidin terutama pada masa Abu bakar mengalami pesoalan-pesoalan, diantaranya murtadnya orang sepeninggalan Nabi SAW, maka para sahabat berhati-hati dalam periwayatan sebuah hadits, dan mengambil langkah berupa:
a.       Menyedikitkan riwayat, yakni hanya mengeluarkan hadits dalam batas kadar kebutuhan primer dalam pengajaran dan tuntutan pengalaman agama.
b.      Menapis dalam penerimaan hadits, yakni meneliti keadaan rawi setiap hadits, apakah cukup adil atau masih meragukan, hadits mutawatir atau masyhur. Terkadang kalau menerima hadits yang diragukan, para sahabat meminta saksi, keterangan-keterangan yang bisa menyakinkan.
c.       Melarang meriwayatkan secara luas hadits yang belum dapat difahami sacara umum[22].
Dalam masa sahabat ini, perkembangan penelitian hadits menyangkut sanad maupun matan hadits semakin menampakkan wujudnya, dalam rangka menjaga kemurnian sebuah hadits, seperti halnya yang telah dilakukan khalifah pertama Abu Bakar yang diikuti sahabat sesudahnya, yaitu tidak mau menerima suatu hadits yang disampaikan seseorang, kecuali yang bersangkutan mampu mendatangkan saksi untuk memastikan kebenaran riwayat yang disampaikanya. Kecuali sahabat Ali r.a memiliki persyaratan tersendiri dalam menerima suatu hadits, yaitu orang yang menyampaikan sebuah hadits harus bersedia disumpah atas kebenaran riwayat yang dibawanya[23].  
Perinsip dasar penelitian sanad yang terkandung dalam kebijaksaan yang dicontohkan oleh para sahabat diikuti dan dikembangkan pula oleh para tabiin. Di antara tokoh tabiin yang terkenal dalam bidang ini adalah Sa’id bin Mussab (15-94 H), Al-Hasan Al-bashri (21-110 H), Amir bin Syurahbi Asy-sya’bi (17-104 H) dan Muhammad bin Sirin (w. 110 H)[24].   
Dalam catatan sejarah menurut Ibn Hajar Al-Asqalani, ulama yang pertama kali berhasil menyusun ilmu hadits dalam suatu disiplin ilmu lengkap adalah Al-Qadi Abu Muhammad Al-Hasan bin Abd. Ar-Rahman bin Khalad Ar-Ramahurmuzi (265-360 H) dalam kitabnya, Al-Muhaddits Al-Fashil baina Ar-Rawi wa Al-Wa’i[25]. Kitab ini pada masa itu merupakan kitab yang paling populer dan terlengkap, yang kemudian dikembangkan dan disempurnakan lagi oleh para ulama-ulama berikutnya.    
Kemudian muncul ulama-ulama muhaditsin lainnya seperti Al-Hakim Abu Abdillah (405 H), yang mengarang kitab Ma’rifah Ulumil Hadits, yang isinya membagi ilmu hadits menjadi 50 macam. Sesudah itu dilanjutkan oleh Abu Nu’aim Al-Ashbahani (430 H), yang menambah beberapa pembahasan yang telah dibahas oleh Al-Hakim. Kemudian Al-Khathieb Al-Baghdad (463 H), beliau mengarang beberapa macam kitab ilmu hadits, yang dijadikan rujukan oleh ulama-ulama yang datang sesudahnya. Seperti dalam masalah Qawaninur Riwayat (aturan-aturan periwayatan), beliau menyusun kitab Al-Kifayah fi Qawaninur Riwayah dan dalam masalah adab-adab riwayat beliau menyusun kitab Al-Jami’ li Adabibsy Syaikh was Sami[26].    
Setelah itu ada Al-Qadli Iyadl (544) yang menyusun kitab Al-Ilma’ yang pembahasannya diambil dari kitab-kitab Al-Khathieb dan setelah itu bermunculan ulama-ulama yang menyusun ilmu seperti ini, seperti Al-Hafidh Taqiyuddin Abu Amer Utsman Ibnush Shalah Ad Dimasyqi (642 H)[27] dalam kitabnya Muqaddamah Ibnush Shalah atau Ulumul Hadits yang dajarkan kepada murid-muridnya di perguruan Al-Asyrafiyah di Damaskus. Kitab ini dinadhamkan oleh ulama-ulama berikutnya seperti Al-Iraqi dalam Alfiyahnya yang kemudian disyarahkan olehnya sendiri dalam kitab Fathul Mughits dan oleh Al Hafidh As Sakhawy. Ada juga ulama yang mengikhtisarkan seperti An Nawawy dalam kitabnya Al-Irsyad yang diringkas dalam kitab At-Taqrib yang selanjutnya disyarahkan oleh Jalal al-Din Abd al-Rahman ibn Abu Bakar al-Suyuthi (911 H) dalam kitabnya At Tadrib al-Rawi fi Syarh Taqrib al-Nawawi[28]. Demikian perkembangan ilmu hadits pada abad ini yang kemudian di sempurnakan kembali oleh ulama-ulama yang datang belakangan. 

2.      Masa Pertengahan (Abad 7 H sampai Abad 14 H)
Ulama pada abad ini mencoba untuk menyempurnakan atas kitab-kitab yang telah ditulis oleh ulama-ulama sebelumya seperti kitab Mukhtasar Muqaddamah Ibnush Shalah yang paling baik ialah Ikhtishar Ulumil Hadits yang ditulis oleh Al-Hafidh Ibnu Katsir Ad Dimasyqi (774 H), yang kemudian disyarahkan oleh Al-Allamah Ahmad Muhammad Syakiz dalam kitab Al Ba’atsul Hatsits ala Ma’rifati Ulumil Hadits
Dan dalam kitab Nukhbatul Fikar fi Mushtalahi Ahli Al-Atsar karya Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani (852 H), merupakan kitab kecil yang diringkasan namun termasuk ringkasan yang paling bagus dan paling baik susunan dan pembagiaanya, serta telah disyarahkan oleh penyusunnya sendiri dalam kitab Nuzhatu An-Nazhar.
Muhammad bin Abdirrahman As-Sakhawi (902 H), juga menulis kitab tentang ilmu hadits dalam sebuah karyanya dalam kitab Fathul Mughits fi Syarhi Alfiyati Al-Hadits yang merupakan syarah paling lengkap atas kitab Alfiyah Al-Iraqi.  Dan kitab Fathul Baqi ala Alfiyati Al-Iraqi karya Al-Hafizh Zainuddin As-Syaikh Zakaria bin Muhammad bin Ahmad bin Zakaria Al-Anshari (925 H).[29]
                                
3.      Masa Modern (Abad 14 H samapai Sekarang)      
Perkembangan ilmu hadits abad demi abad terus mengalami perkembangan dan penyempurnaan pada abad ini yang terus menulis ilmu hadits dari ulama muhaditsin adalah Asy-Syaikh Thahir Al-Jaziry (1338 H) dalam kitabnya Taujihun Nadhar ila Ilmi Usulil Atsar, salah satu kitab yang mempunya nilai tinggi dalam ilmu hadits dan As-Sayid Jamaluddin Al-Qasimy (1332 H) dengan kitabnya Qawaidut Tahdits fi Fununil Hadits, suatu kitab yang banyak faedahnya dan sangat tertib susunannya[30]
Ulama kontemporer yang masih bergelut membahas dan mendalami ilmu hadits adalah Dr. Mahmud At-Thahhan dalam karyanya yang berjudul Taisir Musthalah Al-Hadits[31].  
Demikianlah perkembangan ilmu hadits yang mengalami kemajuan dari waktu kewaktu untuk menjadi sebuah ilmu yang sempurna.     


Sabtu, 05 Januari 2013

Tafsir Ayat Radha'ah



I.         PENDAHULUAN
Air Susu Ibu (ASI) merupakan makanan yang terbaik bagi bayi, karena pengolahannya telah berjalan secara alami dalam tubuh si ibu. Sebelum anak lahir, makanannya telah disiapkan lebih dahulu, sehingga begitu anak itu lahir, air susu ibu telah siap untuk dimanfaatkan. Demikian kasih sayang Allah terhadap makhluk-Nya. Namun demikian ada banyak kaum ibu pada saat ini yang tidak dapat memberikan ASI kepada anaknya dengan berbagai alasan seperti ASI-nya tidak keluar, alasan kesehatan serta karena waktunya tersita untuk bekerja, maka muncullah gagasan untuk mendirikan Bank ASI untuk memenuhi kebutuhan ASI balita yang ibunya tidak bisa menyusui anaknya secara langsung. 
Gagasan untuk mendirikan bank ASI ini sebenarnya telah berkembang di Eropa kira-kira lima puluh tahun yang lalu. Gagasan itu muncul setelah adanya bank darah. Mereka melakukannya dengan mengumpulkan ASI dari wanita dan membelinya kemudian ASI tersebut dicampur di dalam satu tempat untuk menunggu orang yang membeli ASI tersebut dari mereka. Permasalahan ini cukup menarik untuk dikaji melalui hukum Islam. Pentingnya melakukan kajian tersebut, karena sebagaimana yang diketahui bahwa dalam Islam ada istilah yang disebut sebagai saudara sesusu. Apakah bank ASI ini juga mengakibatkan terjadinya saudara sesusuan, semuanya akan diketahui melalaui kajian berikut.

II.       PEMBAHASAN
A.  Surat al-Baqarah; 233
* ßNºt$Î!ºuqø9$#ur z`÷èÅÊöãƒ £`èdy»s9÷rr& Èû÷,s!öqym Èû÷ün=ÏB%x. ( ô`yJÏ9 yŠ#ur& br& ¨LÉêムsptã$|ʧ9$# 4 n?tãur ÏŠqä9öqpRùQ$# ¼ã&s! £`ßgè%øÍ £`åkèEuqó¡Ï.ur Å$rã÷èpRùQ$$Î/ 4 Ÿw ß#¯=s3è? ë§øÿtR žwÎ) $ygyèóãr 4 Ÿw §!$ŸÒè? 8ot$Î!ºur $ydÏ$s!uqÎ/ Ÿwur ׊qä9öqtB ¼çm©9 ¾ÍnÏ$s!uqÎ/ 4 n?tãur Ï^Í#uqø9$# ã@÷VÏB y7Ï9ºsŒ 3 ÷bÎ*sù #yŠ#ur& »w$|ÁÏù `tã <Ú#ts? $uKåk÷]ÏiB 9ãr$t±s?ur Ÿxsù yy$oYã_ $yJÍköŽn=tã 3 ÷bÎ)ur öN?Šur& br& (#þqãèÅÊ÷ŽtIó¡n@ ö/ä.y»s9÷rr& Ÿxsù yy$uZã_ ö/ä3øn=tæ #sŒÎ) NçFôJ¯=y !$¨B Läêøs?#uä Å$rá÷èpRùQ$$Î/ 3 (#qà)¨?$#ur ©!$# (#þqßJn=ôã$#ur ¨br& ©!$# $oÿÏ3 tbqè=uK÷ès? ׎ÅÁt/ ÇËÌÌÈ  

“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan”.


معنى المفردات :           
1. { الوالدات } : para ibu
{ حَوْلَيْنِ } : dua tahun
2. { المولود لَهُ } : ayah
3. { فِصَالاً } :    menghentikan anaknya dari penyusuan
4. { تسترضعوا } : menginginkan anaknya untuk disusukan orang lain
5. { بالمعروف } : dengan sepantasnya (dalam memberi upah )[1]

استنباط الأحكام :

1. Hukum menyusui anak bagi seorang ibu
Dalam hal ini sebagian ulama  pendapat bahwasanya hukum bagi seorang ibu dalam menyusui anaknya adalah wajib.Hal ini sebagaimana yang telah dikatakan dalam al qur’an :
ßNºt$Î!ºuqø9$#ur z`÷èÅÊöãƒ £`èdy»s9÷rr&
“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya”
Dari ayat di atas mengandung kalimat perintah - menyusui bagi ibu terhadap anaknya- dalam bentuk berita.Dalam mazhab maliki perintah wajib menyusui bagi ibu berlaku jika dia masih berstatus istri (belum bercerai) atau ketiadaan suami.Adapun perempuan yang ditalak bain maka kewajiban tersebut jatuh kepada suaminya (yang mencerai).[2]
2. Kadar tempo menyusui anak bagi seorang ibu
Tidak ada kadar waktu wajib bagi seorang ibu dalam menyusui anaknya.Boleh dia menyusui anaknya lebih dari dua tahun atau kurang dari itu.Namun idealnya bagi seorang ibu dalam hal itu adalah selama dua tahun.hal ini berdasarkan firman Allah di atas yang berbunyi : 
لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُـتِمَّ الـرَّضَاعَة
 “Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan susuan”
Hal ini menunjukkan bahwa waktu 2 tahun itu bukan harga mati, namun bisa lebih pendek dari itu, tak ada batasan pasti, tergantung dari kemaslahatan bagi anak dan ibunya maupun pola makannya.[3]
3.penyusuan yang menjadikan mahram
Menurut Pendapat Imam Malik, Syafi’i dan Ahmad waktu penyusuan yang menjadikan anak itu haram dengan yang menyusuinya adalah selama belum lebih dari dua tahun.Jikalau seseorang menyusui seorang bayi yang berumur lebih dua tahun maka dia tidak bisa dikatakan sebagia anak susuannya.[4]hal ini berdasarkan firman Allah di atas yang berbunyi : 

ßNºt$Î!ºuqø9$#ur z`÷èÅÊöãƒ £`èdy»s9÷rr& Èû÷,s!öqym Èû÷ün=ÏB%x.
Dan pendapat itu juga senada dengan hadis yang berbunyi :
لا رضاع إلا ما كان في حولين   رواه الدارقطني
“Tidak ada penyusuan kecuali sibayi berumur dalam dua tahun
4. Kewajiban nafkah
Wajib atas orang yang diberikan kepadanya seorang anak (baik ia adalah suami bagi ibu anak tersebut atau yang lainnya) untuk memberikan nafkah kepada ibu yang menyusui anaknya tersebut. dhahirnya ayat menunjukkan bahwa hal itu tidak dibedakan antara ibu yang menyusui tersebut adalah sebagai istri yang masih terikat dalam hubungan pernikahan atau istri yang telah dithalak ba’in.
Jika dia adalah masih dalam ikatan pernikahan maka nafkah melalui dua jalan atau sebab, melalui dia sebagai istri (yang wajib bagi suami menafkahinya) dan dari sebab menyusui. Dan apabila dia telah di thalak ba’in maka nafkah hanya melalui satu sebab yaitu sebab menyusui. Dan kewajiban nafkah tersebut sesuai kondisi kemampuan suami.[5]
         5.maksud dari ahli waris

وَ عَلَى الْـوَارِثُ مِثْلُ ذلِكَ

 “Dan warispun berkewajiban demikian
Ibnu Katsir rahimahullah menyebutkan: Ada yang mengatakan, tidak boleh menimpakan madlarat kepada kerabatnya. Seperti dikatakan oleh Mujahid, asy-Sya`bi dan adl-Dlohhak, Ada juga yang mengatakan kepada ahli waris diwajibkan pula seperti yang diwajibkan kepada ayah bayi itu. Yaitu memberikan nafkah kepada ibu si bayi serta memenuhi semua hak-haknya serta tidak  mencelakakannya. Demikian menurut jumhur `ulama. Ibnu Jarir ath Thabari secara panjang lebar membahas dalam kitab Tafsirnya. Hal ini dijadikan dalil oleh pengikut madzhab Hanafi fan Hanbali yang mewajibkan pemberian nafkah kepada kaum kerabat, sebagian atas sebagian yang lain.[6]

B.   Surat an-Nisa: 23
ôMtBÌhãm öNà6øn=tã öNä3çG»yg¨Bé& öNä3è?$oYt/ur öNà6è?ºuqyzr&ur öNä3çG»£Jtãur öNä3çG»n=»yzur ßN$oYt/ur ˈF{$# ßN$oYt/ur ÏM÷zW{$# ãNà6çF»yg¨Bé&ur ûÓÉL»©9$# öNä3oY÷è|Êör& Nà6è?ºuqyzr&ur šÆÏiB Ïpyè»|ʧ9$# àM»yg¨Bé&ur öNä3ͬ!$|¡ÎS ãNà6ç6Í´¯»t/uur ÓÉL»©9$# Îû Nà2Íqàfãm `ÏiB ãNä3ͬ!$|¡ÎpS ÓÉL»©9$# OçFù=yzyŠ £`ÎgÎ/ bÎ*sù öN©9 (#qçRqä3s? OçFù=yzyŠ  ÆÎgÎ/ Ÿxsù yy$oYã_ öNà6øn=tæ ã@Í´¯»n=ymur ãNà6ͬ!$oYö/r& tûïÉ©9$# ô`ÏB öNà6Î7»n=ô¹r& br&ur (#qãèyJôfs? šú÷üt/ Èû÷ütG÷zW{$# žwÎ) $tB ôs% y#n=y 3 žcÎ) ©!$# tb%x. #Yqàÿxî $VJŠÏm§ ÇËÌÈ  
“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan[7], saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”

معنى المفردات :
1 حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ  diharamkan atas kamu menikahi :                     
2 وَخَالَاتُكُمْ  saudara-saudara ibumu yang perempuan :
3 وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ   ibu – ibu yang menyusui kamu :
4 وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ  saudaramu sesusu :
5 وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ
anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri:
6 فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ maka tidak berdosa kamu mengawininya :               
7 وَحَلَائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلَابِكُمْ isteri-isteri anak kandungmu (menantu):
8 إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ  kecuali yang telah terjadi pada masa lampau :


استنباط الأحكام :
Di dalam ayat di atas terkandung pengharaman nikah seseorang kepada mahramnya yang mana hal ini dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian yaitu haram karena keturunan,haram karena penyusuan,haram karena مصاهرة  (seperti antara suami dengan ibu atau anak istri).[8]
1. Haram nikah karena keturunan
Diharamkan bagi seseorang menikahi tujuh orang dari perempuan dikarenakan adanya status keturunan yaitu : ibu hingga ke atas,anak perempuan hingga ke bawah,saudari,bibi dari ayah, bibi dari ibu,anak perempuan dari saudara dan anak perempuan dari saudari.[9]           
2. Haram nikah karena penyusuan
Diharamkan menikah dikarenakan adanya status penyusuan sebagaimana hadis yang berbunyi :
يحرم من الرضاع ما يحرم من النسب[10]
Diharamkannya yang dikarenakan penyusuan sama seperti halnya diharamkannya karena keturunan. Maka dari sini jika seseorang yang telah menjadi anak dari susuan maka dia dharamkan menikahi ibu susuannya,dan seperti perempuan lainnya yang haram karena keturunan.[11]
3. haram nikah karena مصاهرة
Dalam hal ini ada empat permpuan yang diharamkan menikahinya :
1. istri ayah : وَلَا تَنْكِحُوا مَا نَكَحَ آبَاؤُكُمْ مِنَ النِّسَاءِ
2.istri anak : وَحَلَائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلَابِكُمْ
3. ibu istri : وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ
4. anak istri ( yang sudah digauli ):
وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ
عَلَيْكُمْ
Dari bagian 1 sampai 3 jatuh keharaman menikahinya jika telah terjadinya akad nikah contohnya seseorang yang menikahi perempuan lalu dia menginginkan ibunya maka hal ini tidak diperbolehkan dalam Islam. Berbeda sebalik di bagian 4 jika seseorang telah menikahi perempuan (belum menggaulinya) maka boleh dia memilih anaknya.[12]
Haramnya menikahi seorang perempuan berdasarkan tempo
Dalam hal ini ada dua macam yaitu mengumpulkannya dengan saudarinya dan menikahi istri orang lain.
1.Mengumpulkannya dengan saudaranya
Berdasarkan ayat diatas an nisa 23 seseorang diharamkan menikahi perempuan beserta saudarinya.Dan begitu pula mengumpulkannya dengan bibinya sebagaimana hadis yang berbunyi :
لا يجمع بين المرأة وعمتها ولا بين المرأة وخالتها [13]
“Hendaklah seseorang untuk tidak mengumpulkan perempuan dengan bibi dari ayahnya atau dari ibunya”.
2.Istri orang lain
 Di haramkan bagi seseorang menikahi istri orang lain sebagaimana firman Allah swt :
وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاءِ
“Dan (diharamkan pula menikahi) perempuan yang sudah bersuami”.
 Demikian juga diharamkan menikahi perempuan yang masih berada dalam iddahnya[14] sebagaimana firman Allah swt :
وَلَا تَعْزِمُوا عُقْدَةَ النِّكَاحِ حَتَّى يَبْلُغَ الْكِتَابُ أَجَلَهُ[15]
“Dan janganlah kamu menetapkan akad nikah sebelum habis masa iddahnya”.
C. Al Muharamat Karena Penyusuan
Secara etimologi radha’ah berarti suatu nama untuk isapan atau sedotan air susu dari al-sadyu (susu), baik susu manusia maupun susu binatang. Karena titik berat daam pengertian lugawi in terletak pada isapan al-sadyu, maka jika air susu itu diperah kemudian diminumkan kepada seseorang, hal tersebut tidak dinamakan radha’ah. Dalam pengetian lugawi ini juga tidak disyaratkan besar kecilnya orang yang menyusu. Dengan kata lain, siapa pun yang menyusu, dewasa maupun bayi, kepada manusia atau binatang, dinamakan radha’ah. Namun ketika istilah radha’ah dipakai di dalam hukum Islam, maka pengertiannya dapat dirumuskan sebagai berikut:
         وُ صُوْ لُ لَبَنِ آدَ مِيّةٍ إِلَى جَوْفِ طِفْلٍ
“Sampainya air susu manusia ke dalam kerongkongan anak-anak”[16].

Radha’ah (penyusuan)[17] yang selama ini menjadi acuan syara’ dalam menetapkan pengharaman (perkawinan), menurut jumhur fuqaha termasuk tiga orang imam mazhab, yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Syafi’i, ialah segala sesuatu yang sampai ke perut bayi melalui kerongkongan atau lainnya, denga cara menghisap atau lainnya, seperti dengan al-wajur (yaitu menuangkan air susu lewat mulut kekrongkongan), bahkan mereka samakan pula dengan jal as-sa’uth yaitu menuangkan air susu kehidung (lantas kekrongkongan) dan ada pula yang berlebihan dengan menyamakannya dengan suntikan lewat dubur (anus)[18].
Apabila diperhatikan pengertian radha’ah di atas, tidak ditemukan batasan tertentu tentang usia anak yang menyusu. Namun demikian, para fuqaha telah sepakat berpendapat bahwa usia anak yang menyusu yang dapat menjadi penghalang pernikahan adalah usia dua tahun. Karena itu, Imam Malik, Abu Hanafiyah, Syafi’i, dan sejumlah ulama lainnya, berpendapat bahwa penyusuan anak yang besar (dewasa) tidak menyebabkan keharaman pernikahan[19]. 
Sebagaimana pendapat Ibnu Abbas r.a. yang diriwayatkan oleh Daruquthni dan Ibnu adiy secara tegas mengatakan[20]:
لَا رَ ضَا عَ إلّافِى حَوْلَيْنِ
“Tidak ada susuan kecuali dalam usia dua tahun”
Dan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud disebutkan:
لَارَضَا عَ إلّامَا أَ نْشَزَ اْلعَظُمَ وَأَ نْبَتَ الّلحْمَ
“Tidak ada susuan kecuali sesuatu yang dapat memperkuat tulang dan menumbuhkan daging”   
Sayyid Sabiq menjelaskan hadits ini dengan mengatakan bahwa kuatnya tulang dan tumbuhnya daging tersebut terjadi pada anak usia dua tahun. Tulang dan daging itu tumbuh dengan air susu pada usia tersebut. 
Berbeda dengan Madzhab Syafi'i dan Hanbali mengatakan bahwa susuan yang mengharamkan adalah jika telah melewati 5 kali susuan secara terpisah. Hal ini berdasarkan hadits Aisyah ra, bahwasanya beliau berkata[21]:
كَانَ فِيمَا أُنْزِلَ مِنْ الْقُرْآنِ عَشْرُ رَضَعَاتٍ مَعْلُومَاتٍ يُحَرِّمْنَ ثُمَّ نُسِخْنَ بِخَمْسٍ مَعْلُومَاتٍ فَتُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُنَّ فِيمَا يُقْرَأُ مِن الْقُرْآنِ

"Dahulu dalam Al Qur`an susuan yang dapat menyebabkan menjadi mahram ialah sepuluh kali penyusuan, kemudian hal itu dinasakh (dihapus) dengan lima kali penyusuan saja. Lalu Rasulullah saw wafat, dan ayat-ayat Al Qur`an masih tetap di baca seperti itu." (HR Muslim)

Kapan seorang bayi menyusui dan dianggap sebagai satu susuan, Yaitu jika dia menyusui, setelah kenyang dia melepas susuan tersebut menurut kemauannya. Jika dia menyusu lagi setelah satu atau dua jam, maka terhitung dua kali susuan dan seterusnya sampai lima kali menyusu. Kalau si bayi berhenti untuk bernafas, atau menoleh kemudian menyusu lagi, maka hal itu dihitung satu kali susuan saja.
Para ulama berbeda pendapat tentang tata cara menyusu yang bisa mengharamkan. Mayoritas ulama mengatakan bahwa yang penting adalah sampainya air susu tersebut ke dalam perut bayi, sehingga membentuk daging dan tulang, baik dengan cara menghisap puting payudara dari perempuan langsung, ataupun dengan cara as-su'uth (memasukkan susu ke lubang hidungnya), atau dengan cara al-wujur (menuangkannya langsung ke tenggorakannya), atau dengan cara yang lain[22]

D.  Hukum Susuan Lewat Bank ASI Dalam Kaitannya Dengan Mahram
1.         Pengertian Bank Asi
Bank ASI merupakan tempat penyimpanan dan penyalur ASI dari donor ASI yang kemudian akan diberikan kepada ibu-ibu yang tidak bisa memberikan ASI sendiri ke bayinya. Ibu yang sehat dan memiliki kelebihan produksi ASI bisa menjadi pendonor ASI. ASI biasanya disimpan di dalam plastik atau wadah, yang didinginkan dalam lemari es agar tidak tercemar oleh bakteri. Kesulitan para ibu memberikan ASI untuk anaknya menjadi salah satu pertimbangan mengapa bank ASI perlu didirikan, terutama di saat krisis seperti pada saat bencana yang sering membuat ibu-ibu menyusui stres dan tidak bisa memberikan ASI pada anaknya[23].
Semua ibu donor diskrining dengan hati-hati. Ibu donor harus memenuhi syarat, yaitu non-perokok, tidak minum obat dan alkohol, dalam kesehatan yang baik dan memiliki kelebihan ASI. Selain itu, ibu donor harus memiliki tes darah negatif untuk Hepatitis B dan C, HIV 1 dan 2, serta HTLV 1 dan 2, memiliki kekebalan terhadap rubella dan sifilis negatif. Juga tidak memiliki riwayat penyakit TBC aktif, herpes atau kondisi kesehatan kronis lain seperti multiple sclerosis atau riwayat kanker. Berapa lama ASI dapat bertahan sesuai dengan suhu ruangannya:
a.    Suhu 19-25 derajat celsius ASI dapat tahan 4-8 jam.
b.    Suhu 0-4 derajat celsius ASI tahan 1-2 hari
c.    Suhu dalam freezer khusus bisa tahan 3-4 bulan[24].



2.         Hukum Jual Beli Asi
Air Susu Ibu (ASI) adalah bagian yang mengalir dari anggota tubuh manusia, dan tidak diragukan lagi itu merupakan karunia Allah bagi manusia dimana dengan adanya ASI tersebut seorang bayi dapat memperoleh gizi. ASI tersebut merupakan sesuatu hal yang urgen di dalam kehidupan bayi. Karena pentingnya ASI tersebut untuk pertumbuhan maka sebagian orang memenuhi kebutuhan tersebut dengan membeli ASI pada orang lain. Jual beli ASI manusia itu sendiri di dalam fiqih Islam merupakan cabang hukum yang para ulama berbeda pendapat di dalamnya. Ada dua pendapat ulama tentang hal tersebut[25].
Pertama, tidak boleh menjualnya. Ini merupakan pendapat ulama madzhab Hanafi kecuali Abu Yusuf, salah satu pendapat yang lemah pada madzhab Syafi'i dan merupakan pendapat sebagian ulama Hanbali. Kedua, pendapat yang mengatakan dibolehkan jual beli ASI manusia. Ini merupakan pendapat Abu Yusuf (pada susu seorang budak), Maliki dan Syafi'i, Khirqi dari madzhab Hanbali, Ibnu Hamid, dikuatkan juga oleh Ibnu Qudamah dan juga madzhab Ibnu Hazm[26].

3.         Timbulnya Perbedaan Pendapat dikalangan Ulama
Menurut Ibn Rusyd, sebab timbulnya perselisihan pendapat ulama di dalam hal tersebut adalah pada boleh tidaknya menjual ASI manusia yang telah diperah. Karena proses pengambilan ASI tersebut melalui perahan. Imam Malik dan Imam Syafi'i membolehkannya, sedangkan Abu Hanifah tidak membolehkannya. Alasan mereka yang membolehkannya adalah karena ASI itu halal untuk diminum maka boleh menjualnya seperti susu sapi dan sejenisnya. Sedangkan Abu Hanifah memandang bahwa hukum asal dari ASI itu sendiri adalah haram karena dia disamakan seperti daging manusia[27]. Maka karena daging manusia tidak boleh memakannya maka tidak boleh menjualnya.
4.         Hukum Mendirikan Bank Asi
Bahwa di dalam pembolehan menjual ASI itu ada kemungkaran karena bisa menimbulkan rusaknya pernikahan yang disebabkan kawinnya orang sesusuan dan hal tersebut tidak dapat diketahui jika antara lelaki dan wanita meminum ASI yang dijual bank ASI tersebut[28]. Namun, ada juga yang berpendapat bahwa menjual ASI tersebut membawa manfaat bagi manusia yaitu tercukupinya gizi bagi bayi karena kita melihat bahwa banyak bayi yang tidak memperoleh ASI yang cukup baik karena kesibukan sang ibu ataupun karena penyakit yang diderita ibu tersebut. Tetapi pendapat tersebut dapat ditolak karena kemudaratan yang ditimbulkan lebih besar dari manfaatnya yaitu terjadinya percampuran nasab. Padahal Islam menganjurkan kepada manusia untuk selalu menjaga nasabnya. Kaidah ushul juga menyebutkan bahwa:
دَفْعُ الضَّرَارِ اَوْلَى مِنْ جَلْبِ الْمَصَالِحِ
Menolak kemadharatan lebih utama dari pada menarik kemaslahatan.

Ibnu Sayuti di dalam kitab Asybah Wa Nadhaair menyebutkan bahwa di dalam kaidah disebutkan bahwa diantara prinsip dasar Islam adalah :
اَلضَّرَارُ لاَ يُزَالُ بِالضَّرَارِ
Kemudaratan itu tidak dapat dihilangkan dengan kemudaratan lagi.

Hal ini jelas, karena akan menambah masalah. Kaitannya dengan pembahasan kita yaitu, ketiadaan ASI bagi seorang bayi adalah suatu kemudaratan, maka memberi bayi dengan ASI yang dijual di bank ASI adalah kemudaratan pula. Maka apa yang tersisa dari bertemunya kemudaratan kecuali kemudaratan[29]. Karena Fiqih bukanlah pelajaran fisika dimana bila bertemu dua kutub yang sama akan menghasilkan hasil yang berbeda. Maka penulis sependapat bahwa hendaknya kita melihat mana yang lebih besar manfaatnya daripada kerusakannya.

5.         Ulama yang Membolehkan Bank Asi
Sebagian ulama kontemporer membolehkan pendirian bank ASI ini, diantara mereka adalah Dr. Yusuf al-Qardhawi. Mereka beralasan[30]:
a.       Bahwa kata kata radha'(menyusui) di dalam bahasa Arab bermakna menghisap puting payudara dan meminum ASI-nya. Maka oleh karena itu meminum ASI bukan melalui menghisap payudara tidak disebut menyusui, maka efek dari penyusuan model ini tidak membawa pengaruh apa-apa di dalam hukum nasab nantinya.
b.      Yang menimbulkan adanya saudara sesusu adalah sifat "keibuan", yang ditegaskan Al-Qur'an itu tidak terbentuk semata-mata diambilkan air susunya, tetapi karena menghisap teteknya dan selalu lekat padanya sehingga melahirkan kasih sayang si ibu dan ketergantungan si anak. Dari keibuan ini maka muncullah persaudaraan sepersusuan. Jadi, keibuan ini merupakan asal (pokok), sedangkan yang lain mengikutinya.
c.       Alasan yang dikemukakan oleh beberapa madzhab dimana mereka memberi ketentuan berapa kali penyusuan terhadap seseorang sehingga antara bayi dan ibu susu memilki ikatan yang diharamkan nikah, mereka mengatakan bahwa jika si bayi hanya menyusu kurang dari lima kali susuan maka tidaklah membawa pengaruh di dalam hubungan darah[31].

III.     KESIMPULAN
Perbedaan pandangan ulama terhadap beberapa masalah penyusuan mengakibatkan mereka berbeda pendapat di dalam menyikapi munculnya Bank Asi sebagaimana berikut :
Pendapat Pertama menyatakan bahwa mendirikan bank ASI hukumnya boleh. Salah satu alasannya: Bayi tidak bisa menjadi mahram bagi ibu yang disimpan ASI-nya di bank ASI. Karena susuan yang mengharamkan adalah jika dia menyusu langsung. Sedangkan dalam kasus ini, sang bayi hanya mengambil ASI yang sudah dikemas.
Pendapat Kedua menyatakan hukumnya haram. Menimbang dampak buruknya menyebabkan tercampurnya nasab. Dan mengikuti pendapat jumhur yang tidak membedakan antara menyusu langsung atau lewat alat.
Pendapat Ketiga menyatakan bahwa pendirian Bank ASI dibolehkan jika telah memenuhi beberapa syarat yang sangat ketat, diantaranya: setiap ASI yang dikumpulkan di Bank ASI, harus disimpan di tempat khusus dengan meregistrasi nama pemiliknya dan dipisahkan dari ASI-ASI yang lain. Setiap bayi yang mengkonsumsi ASI tersebut harus dicatat detail dan diberitahukan kepada pemilik ASI, supaya jelas nasabnya. Dengan demikian, percampuran nasab yang dikhawatirkan oleh para ulama yang melarang bisa dihindari.








DAFTAR PUSTAKA

Al Baghdadi, Abdurrahman  , Emansipasi Adakah Dalam Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 1998)
Ashobuni, M. Ali, Tafsir Ayatul Ahkam (Damasykus: Maktabah Gozali, 1980)
Assa’ady, Abdurahman, Taisirul Karim (Muassasah Risalah, 2000)
Araby, Ibnu, Ahkamul Qur’an (Beirut: Darul Kutub Ilmiah, 2003)
Anshary AZ, Chuzaimah T. Yanggo dan Hafiz, Problematika Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2009)
Bukhari, Imam, Shohih bukhari, Dar Tuq Najah, tth.)
Khan, Sayyid Muhammad Shiddiq, Tafsir Fathul Qadir, I/301 ( Husnul Uswah, tth.)
Katsir, Ibnu, Tafsir al-Quran, (Dar Tayyibah, tth)
Mahjuddin, Masailul Fiqhiyah: Berbagai Kasus yang Dihadapi Hukum Islam Masa Kini, ( Jakarta: Kalam Mulia, 2003)
Muslim, Imam, Shohih Muslim ( Dar Ihya Turast, tth.)
Sabiq, Sayyid, Fiqh Sunnah (Bairut: Dar al Fikr, 1983)
Shabuni, Muhammad Ali, Tafsir Ayatul Ahkam (Darul Qutub Islamiyah tth.)
Uwaidah, Kamil Muhammad, Fiqih Wanita, terj. M. Abdul Ghoffar (Jakarta: Pustaka Al-kautsar, 1998)
Qaradhawi, Yusuf, Fatwa-Fatwa Kontemporer 2, terj. As’ad Yasin (Jakarta: Gema Insani, 1995)
Uman, Cholil, Agama Menjawab Tentang Berbagai Masalah Abad Modern, (Surabaya: Ampel Suci, 1994)
Zallum, Abdul Qadim,, Beberapa Problem Kontemporer Dalam Pandangan Islam : Kloning, Transplantasi Organ, Abortus, Bayi Tabung, Penggunaan Organ Tubuh Buatan, Definisi Hidup dan Mati, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2003)
Zuhdi, Masjfuk, ,  Masail Fiqhiyah: Kapita Selekta Hukum Islam, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2000)