I.
PENDAHULUAN
Sebagai sumber hukum Islam yang kedua setelah al-Qur’an, hadits
Nabi memiliki fungsi strategis dalam kajian-kajian keislaman. Namun karena
pembukuan hadits baru dilakukan dalam rentan waktu yang cukup lama sejak
meninggalnya Nabi, ditambah kenyataan sejarah bahwa hadis pernah dipalsukan
dengan berbagai motif, maka orisinalitas hadits yang beredar di kalangan umat
Islam patut diteliti. Pada sisi lain, kenyataan sejarah tersebut juga sering
dijadikan celah dan starting point oleh musuh-musuh Islam untuk merongrong
akidah umat supaya mau berpaling dari hadits Nabi. Lebih-lebih diketahui bahwa
lingkungan Nabi hidup ketika itu kurang akrab dengan budaya tulis-menulis.
Karena itu keabsahan dan orisinalitas hadits yang ada memang harus diteliti.
Para ulama, sejak masa-masa awal Islam telah menunjukkan dedikasi
untuk melakukan penelitian dan seleksi ketat terhadap hadits-hadits Nabi. Hal
itu dimaksudkan untuk melestarikan hadits Nabi sebagai sumber ajaran agama yang
orisinal. Untuk tujuan mulia itu, mereka kemudian menciptakan seperangkat
kaidah, istilah, norma dan metode. Kaidah-kaidah itu, kemudian karena
pertimbangan kebutuhan, lantas dibakukan oleh ulama belakangan, baik yang
berhubungan dengan sanad maupun matan hadits. Tanpa pemahaman yang paripurna
terhadap kaidah, norma dan metode tersebut, sulit bagi seseorang untuk
mengetahui orisinalitas dan keabsahan hadits Nabi.
Sekalipun demikian, pemahaman terhadap berbagai istilah dan kaidah
itu tampaknya juga belum menjamin para pengkaji hadits akan mampu meneliti dan
memahami hadits secara benar. Dinyatakan demikian, karena kompleksitas
permasalahannya memang sangat beragam. Untuk menghindari kesalahan dalam meneliti
dan memahami hadits, maka ulama hadits, sesuai
dengan keahlian masing-masing, kemudian juga menciptakan seperangkat
ilmu. Cabang-cabang pengetahuan itu ada yang berhubungan dengan sanad, ada yang
berhubungan dengan matan, dan ada yang berhubungan dengan sanad dan
matan.Karena berbagai istilah, kaidah dan cabang pengetahuan yang berkaitan
dengan hadits begitu banyak, maka dengan sendirinya jumlah dan jenis kitab yang
membahas hadits Nabi juga begitu banyak.
II.
PEMBAHASAN
A.
Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Ilmu Hadits
Ilmu
ini pada dasarnya telah tumbuh sejak zaman Nabi SAW masih hidup. Akan tetapi
ilmu ini terasa diperlukan setelah Nabi SAW wafat, terutama sekali ketika umat
Islam memulai upaya mengumpulkan hadits dan mengadakan perlawatan yang mereka
lakukan, sudah barang tentu secara langsung atau tidak,memerlukan kaidah-kaidah
guna menyeleksi periwayatan hadits. Pada perkembangan berikutnya kaidah-kaidah
itu semakin disempurnakan oleh para ulama yang muncul pada abad kedua dan
ketiga Hijriyah, baik mereka yang mengkhususkan diri dalam mempelajari bidang
hadits, maupun bidang-bidang lainnya, sehingga menjadi satu disiplin ilmu yang
berdiri sendiri[18].
Dalam
sejarah dan perkembangannya para ulama Muhaditsin membagi sejarah hadits dalam
beberapa periode. Adapun para ulama penulis sejarah hadits berbeda-beda dalam
membagi periode sejarah hadits. Ada yang membagi dalam tiga periode, lima
periode dan tujuh periode[19].
Mohammad
Mustafa Azmi, yang secara garis besar hanya berkonsentrasi pada pengumpulan dan
penulisan hadits pada abad pertama dan kedua hijriah yang dinamainya Pre-Classical
“Hadits” Literature ( masa sebelum puncak kematangan pengkodifikasian hadits),
membagi periodisasi penghimpunan hadits menjadi empat fase[20].
Sedangakan M. Hasbi Ash-Shiddieqy dalam
bukunya membagi perkembangan hadits menjadi tujuh periode, sejak periode Nabi Muhammad
SAW hingga sekarang[21].
Urain
berikut akan menitikberatkan pada proses penghimpunan hadits pada abad pertama,
kedua dan ketiga Hijriah, yaitu sampai pada fase dibukukan dan diklasifikasinya
hadits-hadits Nabi Muhammad SAW kepada yang Shahih dan yang tidak Shahih, yang
diterima dan yang ditolak, hingga masa kekinian.
1.
Hadits pada Abad Pertama Hijriah
a.
Hadits pada Masa Nabi Muhammad SAW
Hadits-hadits
Nabi yang terhimpun di dalam kitab-kitab hadits yang ada sekarang adalah hasil
kesungguhan para sahabat dalam menerima dan memelihara dimasa Nabi SAW dahulu.
Apa yang telah diterima oleh sahabat dari Nabi SAW disampaikan pula oleh mereka
kepada sahabat lain yang tidak hadir ketika itu, dan selanjutnya mereka
menyampaikannya kepada generasi berikutnya dan demikianlah seterusnya hingga
sampai kepada perawi terakhir yang melakukan kodifikasi hadits.
Cara
penerimaan hadits dimasa Nabi SAW tidak sama dengan penerimaan hadits di masa generasi
sesudahnya. Penerimaan hadits dimasa Nabi SAW dilakukan oleh sahabat dekat
beliau, seperti Khulafa’ al-Rasyidin dan dari kalangan sahabat lainnya.
Para sahabat Nabi mempunyi minat yang besar untuk memperoleh hadits Nabi SAW,
oleh karenanya mereka berusaha keras mengikuti Nabi SAW agar ucapan, perbuatan
dan taqrir beliau dapat mereka terima atau lihat secara langsung. Apabila
diantara mereka ada yang berhalangan, maka mereka mencari sahabat yang
kebetulan mengikuti atau hadir bersama Nabi SAW ketika itu untuk meminta apa
yang mereka peroleh dari beliau[22].
Ada
beberapa cara yang ditempuh para sahabat untuk mendapatkan hadits Nabi Muhammad
SAW, yaitu:
1.
Majlis-majlis
Nabi Muhammad SAW
Seluruh
majlis Nabi SAW, merupakan majlis ilmu dan fungsi lainya. Bahwa Nabi SAW
memberikan waktu-waktu khusus untuk memberikan pengajaran kepada sahabat. Para
sahabat juga mempelajari ulang apa yang mereka dengar dari Nabi Muhammad SAW.
Dalam hal ini, Anas bin Malik berkata: kami berada disisi Nabi SAW, lalu kami
dengar hadits dari beliau. Bila kami beranjak, maka kami akan mempelajarinya
kembali di antara kami sehingga bisa menghafalnya.
Di
samping itu, ada juga yang sengaja menghafal hadits dan mengulang-ulanginya.
Salah satu buktinya adalah riwayat al-Khathib al-Baghdadiy dari Abu Hurairah
ra, bahwa beliau berkata: waktu malam menjadi tiga bagian. Sepertiga untuk
salat, sepertiga untuk tidur dan sepertiga lagi untuk mempelajari kembali
hadits Nabi Muhammad SAW.
2.
Peristiwa-peristiwa
yang terjadi pada diri Nabi Muhammad SAW
Berkenaan
dengan hal ini, beliau menjelaskan hukumnya dan kemudian hukum itu tersebar di
kalangan kaum muslimin lantaran orang-orang yang mendengarnya dari beliau.
Namun terkadang Nabi SAW melihat atau mendengar seorang sahabat melakukan
kesalahan. Kemudian beliau meluruskan kesalahannya dan menunjukkannya kepada
yang benar.
3.
Peristiwa-peristiwa
yang terjadi pada kaum Muslimin
Berkenaan
dengan hal ini, mereka menanyakan kepada Nabi muhammad SAW. Beliau kemudian
memberikan fatwa dan memberi jawabannya kepada mereka, menjelaskan hukum yang
mereka tanyakan.
4.
Berbagai
peristiwa dan kejadian yang disaksikan oleh sahabat, bagaimana Nabi SAW
melaksanakan
Jenis
ini sangat banyak jumlahnya, misalnya tentang salat, puasa, haji, saat
bepergian, saat dirumah dan hal-hal lain yang beliau kerjakan. Sebagai contoh
riwayat Abdullah ibn Umar, bahwa beliau melihat Nabi SAW, Abu Bakar dan Umar
berjalan di depan jenazah[23].
b.
Hadits pada Masa Sahabat dan Tabi’in
Periode
sahabat ini disebut Ashr al-Tatsabbut wa al-Iqlal min al-Riwayah (masa
pematerian dan menyedikitkan riwayat). Nabi SAW wafat pada tahun 11 H. Kepada
umatnya meninggalkan dua pegangan sebagai dasar bagi pedoman hidupnya, yaitu
al-Quran dan hadits (al-Sunnah) yang harus dipegangi bagi pengaturan seluruh aspek kehidupan umat.
Para
khalifah sejak Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali, begitu pula dengan
khalifah-khalifah sesudahnya menjunjung tinggi amanat tersebut. Adapun
perhatian khulafa al-rasyidin terhadap hadits pada dasarya adalah:
1.
Para
khulafa al-rasyidin dan para sahabat berpegang bahwa hadits adalah dasar
Tasyri’, maka setiap amalan syariat Islam selalu berpedoman kepada hadits
disamping al-Quran yang menjadi dasar hukum umat Islam.
2.
Para
sahabat berusaha mentablighkan segala hadits yang diterima mereka.
Namun
periwayatan hadits dpermulaan masa sahabat terutama pada masa Abu Bakar dan
Umar, masih terbatas sekali disampaikan kepada yang memerlukan saja , belum bersifat
pelajaran.
Dalam
prakteknya, cara sahabat meriwayatkan hadits ada dua, yakni:
1.
Dengan
lafazh asli, yakni menurut lafazh yang mereka terima dari Nabi SAW yang mereka
hafal benar lafazh dari Nabi.
2.
Dengan
maknanya saja, yakni mereka meriwayatkan maknanya bukan dengan lafazhnya karena
tidak hafal lafazh yang asli dari Nabi SAW.
Suasana
masyarakat masa khulafa al-rasyidin terutama pada masa Abu bakar
mengalami pesoalan-pesoalan, diantaranya murtadnya orang sepeninggalan Nabi
SAW, maka para sahabat berhati-hati dalam periwayatan sebuah hadits, dan
mengambil langkah berupa:
1.
Menyedikitkan
riwayat, yakni hanya mengeluarkan hadits dalam batas kadar kebutuhan primer
dalam pengajaran dan tuntutan pengalaman agama.
2.
Menapis
dalam penerimaan hadits, yakni meneliti keadaan rawi setiap hadits, apakah cukup
adil atau masih meragukan, hadits mutawatir atau masyhur. Terkadang kalau
menerima hadits yang diragukan, para sahabat meminta saksi
keterangan-keterangan yang bisa menyakinkan.
3.
Melarang
meriwayatkan secara luas hadits yang belum dapat difahami sacara umum.
Adapun
penulisan hadits masih tetap terbatas belum dilakukan secara resmi dengan
berbagai petimbangan-pertimbangan diantaranya:
1.
Agar
tidak memalingkan umat dari perhatian terhadap al-Quran. Perhatian sahabat masa
khulafa al-rasyidin adalah pada al-Quran seperti tampak pada urusan
pengumpulan dan pembukuannya hingga menjadi Mush-haf.
2.
Para
sahabat sudah menyebar sehingga terdapat kesulitan dalam menulis hadits[24].
Berbeda
dengan masa sahabat, masa tabi’in ini disebut ‘Ashr Intisyar al-Riwayah ila
Al-Amshar (masa berkembang dan meluasnya periwayatan hadits). Pada masa
ini, daerah Islam sudah meluas, yakni ke negeri Syam, Irak, Mesir, Samarkand,
bahkan pada tahun 93 H, meluas sampai ke Spayol. Hal ini bersamaan dengan
berangkatnya para sahabat kedaerah-daerah tersebut, terutama dalam rangka tugas
memangku jabatan pemerintah dan penyebaran ilmu hadits.
Karena
meningkatnya periwayatan hadits, muncullah bendaharawan dan lembaga-lembaga (Centrum
perkembangan) hadits di berbagai daerah di seluruh negeri. Di antara bendaharawan
hadits yang banyak menerima, menghafal dan mengembangkan atau meriwayatkan
hadits adalah:
1.
Abu
Hurairah, menurut Ibn Al-Jauzi, beliau meriwayatkan 5.374 hadits, sedangkan
menurut Al-Kirmany, beliau meriwayatkan 5.364 hadits.
2.
Abdullah
Ibn Umar meriwayatkan 2.630 hadits
3.
Aisyah,
istri Rasul SAW, meriwayatkan 2,276 hadits
4.
Abdullah
Ibn Abbas meriwayatkan 1.660 hadits
5.
Jabir
Ibn Abdullah meriwayatkan 1.540 hadits
6.
Abu
Sa’id Al-Khudri meriwayatkan 1.170 hadits
Adapun
lembaga-lembaga hadits yang menjadi pusat bagi usaha penggalian, pendidikan dan
pengembangan hadits terdapat di:
1.
Madinah,
dengan tokoh-tokoh diantaraya; Abu Bakar, Umar, Ali, Abu Hurairah, Aisyah, Ibn
Umar, Sa’id Al-Khudri, Zaid Ibn Tsabit (dari kalangan sahabat), ‘Urwah, Said
Az-Zuhri, Abdullah Ibn Umar (dari kalangan tabi’in)
2.
Mekah,
dengan tokoh-tokohnya seperti: Ali, Abdullah Ibn Mas’ud, Sa’ad Ibn Abi Waqas
(sahabat), Masruq, Ubaididah, Al-Aswad, (tabi’in)
3.
Bashrah,
dengan tokoh-tokohnya: Anas Ibn Malik, Utbah, Imran Ibn Husain, Abu Barzah,
Ma’qil Ibn Yasar, Abu Bakrah, Jariyah Ibn Qudamah (sahabat), Abu al-Aliyah,
Al-Hasan Al-Bisri, Qatadah, Abu Bardah Raja’ Ibn Abi Musa (tabi’in)
4.
Saym,
dengan tokohnya: Mu’adz Ibn Jabbal, Ubaidah Ibn Tsamit, Abu Darda (sahabat),
Abu Idris al-Khaulani, Qasibah Ibn Dzuaib, Makhul, Raja’ Ibn Haiwah (tabi’in)
5.
Mesir,
tokoh-tokohnya: ‘Abdullah Ibn Amr, Uqbah Ibn Amir, Kharijah Ibn Hudzaifah, Abu
Basyrah, Abu Saad al-Khair, Yazid Ibn Abi Habib (tabi’in).
Pada
periode ketiga ini mulai muncul usaha pemalsuan oleh orang-orang yang tidak
bertanggung jawab. Hal ini terjadi setelah wafatnya Ali ra. pada saat Islam
terpecah menjadi beberapa golongan diataranya golongan pendukung Ali yang
disebut golongan Syiah, golongan penentang Ali yang disebut golongan Khawarij,
golongan Muawiyah dan golong Jumhur (golongan pemerintah pada masa itu). Dengan
perpecahan tersebut, memacu orang-orang yang tidak bertanggung jawab untuk
mendatangkan keterangan-keterangan yang berasal dari Rasulullah SAW, untuk
mendukung golongan-golongan mereka, oleh karena itu mereka membauat hadits
palsu dan menyebarkannya pada masyarakat[25]
2.
Hadits pada Abad Ke-2 Hijriah (masa penulisan dan pembukuan Hadits
secara resmi)
Pada
periode ini Hadits-Hadits Nabi SAW mulai ditulis dan dikumpulkan secara resmi.
Umar Ibn Abd al-Aziz, salah satu khalifah dari dinasti Umayyah yang mulai
memerintahkan untuk mengambil langkah-langkah bagi penghimpunan dan penulisan hadits
Nabi SAW secara resmi yang selama ini berserakan di dalam catatan dan hafalan
para sahabat dan tabi’in[26].
Pembukuan
hadits kemudian mengalami perubahan-perubahan yang sesuai dengan perkembangan
kemajuan dan sesuai pula dengan keadaan-keadaan dan suasana. Mula-mula ulama
membukukan hadits bercampur dengan perkataan para sahabat dan
perkataan-perkataan para sahabat dan tabi’in.
Di
dalam periode ini para ulama memilih hadits-hadits Nabi SAW dari perkataan-perkataan
sahabat dan tabi’in. Adapun jalan-jalan yang ditempuh para ulama dalam usaha
membukukan hadits ada tiga jalan:
1.
Jalan
Pertama, yaitu pengumpulan segala kritik-kritik yang dihadapkan oleh
ahlul kalam kepada ahlul hadits, baik mengenai pribadi-pribadi ahlul hadits
, maupun mengenai matan hadits itu sendiri. Mereka menolak
tuduhan-tuduhan itu dan membersihkan pribadi-pribadi ulama hadits dari
kritik-kritik tajam yang dilemparkan oleh ahlul kalam. Sebagai contoh
seperti Ibnu Qutaibah dalam kitabnya Ta’wilu Mukhtalifil Hadits fir Raddi
‘ala ‘Ada-il hadits.
2.
Jalan
kedua, jalan mengumpulkan hadits dibawah nama seseorang sahabat, baik
hadits itu shahih, ataupun tidak, walaupun hadits-hadits itu bermacam-macam dan
berlainan-lainan maudlu’nya.
Musnad-musnad
yang disusun diantaranya; Musnad Ubaidullah ibn Musa (wafat 213 H), Musnad
al-Humaidy (wafat 219), Musnad Ishaq ibn Rahawaih (wafat 239) dan masih banyak
lainnya.
3.
Jalan
ketiga, menurut kitab fiqih dengan diberi bab-babnya. Maka hadits-hadits
yang mengenai suatu masalah, ditulis dalam suatu bab dan yang mengenai masalah
lain ditulis dalam bab yang lain. Ulama-ulama yang menempuh jalan ini ada yang
menerangkan hadits-hadits sahih saja seperti al-Bukhari dan Muslim, dan ada
pula yang tidak demikian seperti Abu Daud, at-Turmudzy dan an-Nasa’i[27].
3.
Hadits pada Abad Ke-3 Hijriah (masa pemurnian dan Penyempurnaannya)
Abad
ke-3 H merupakan puncak pembukuan Hadits, yang mulai tersebar dimasyarakat
kitab-kitab hadits, seperti kitab Muwaththa’- Al Malik yang telah
disambut dengan gembira bagi masyarakat. Kemauan menghafal hadits, mengumpulkan
dan membukukannya semakin meningkat dan mulailah ahli-ahli ilmu berpindah dari
suatu tempat ketempat lain dari sebuah negeri ke negeri lain untuk mencari hadits.
Keadaan
ini mulanya diubah oleh Al-Bukhari. Beliaulah yang mula-mula meluaskan
daerah-daerah yang dikunjungi untuk mencari hadits. Beliau pergi ke Maru,
Naisabur, Rei, Baghdad, Bashrah, kufah, Mekah, Madinah, Mesir, Damsyik,
Qusariyah, Asqalani dan Himsh.
Imam
Bukhari membuat trobosan dengan mengumpulkan hadits yang tersebar diberbagai
daerah. Enam tahun lamanya Al Bukhari terus menjelajah untuk menyiapkan kitab
sahih-nya[28].
4.
Hadits pada Abad Ke-4 sampai Ke-7 Hijriah (masa pembersihan,
penyusunan, penambahan dan pengumpulannya)
Periode
ini disebut Ashr al-Tahdzib wa al-Tartib wa al-Istidrak wa al-jami’i
(masa pembersihan, penyusunan, penambahan dan pengumpulan), berlangsung sejak
abad ke-4 H sampai 656 H. Sedangkan periode ketujuh berlangsung mulai tahun 656
H sampai berakhirnya Daulah Bani Abbas (Abbasyiyah) sampai masa-masa
seterusnya.
Ulama
yang hidup mulai abad ke-4 H, disebut ulama Mutaakhirin. Sedangkan ulama
yang hidup sebelumnya disebut ulama Mutaqaddimin. Corak periwayatan hadits
pada masa mutaqaddimin dengan penukilan langsung dari para penghafal.
Maka pada masa mutaakhirin para ulama mencukupkan periwayatan dengan
menukil dan mengutip dari kitab-kitab hadits yang telah di tadwin[29]
oleh ulama-ulama abad ke-2 dan ke-3 H.
Bertolak
dari tadwin itulah maka ulama-ulama di abad ke-4 H memeperluas sistem
dan corak tadwin. Aktivitas tadwin hadits pada abad ke-4 H dan
selanjutnya disebut aktivitas Tadwin Ba’da Tadwin[30].
5.
Keadaan Hadits pada Pertengahan Abad ke-7 Hijriah sampai Sekarang
(masa pensyarahan, pengumpulan, pen-takhrij-an dan pembahasan)
Masa
ini disebut, Ashr al-Syarh wa al-Jam’i wa al-Takhriji wa al-Bahts (masa
pensyarahan, pengumpulan, pentakhrijan dan pembahasan).
Pada
periode ini, umumnya para ulama hadits mempelajari kitab-kitab hadits yang ada
dan selanjutnya mengembangkannya atau meringkasnya sehingga menghasilkan jenis
karya sebagai berikut:
1. Kitab Syarah, yaitu jenis kitab yang memuat uraian dan
penjelasan kandungan hadits dari kitab
tertentu dan hubungannya dengan dalil-dalil lain yang berseumber dari al-Quran
atau kaidah-kaidah syara’ lainnya. Contohnya: Fath al-bari oleh Ibn
Hajar al-Asqalani yang mensyarahkan kitab Shahih AL-Bukhari, Al-Minhaj
oleh Al-Nawawi yang mensyarahkan kitab Shahih Muslim dan Aun
al-Ma’bud oleh Syams al-Haq al-Azhim al-Abadi, mensyarahkan kitab Sunan
Abu Dawud.
2. Kitab Mukhtashar yaitu kitab yang berisi ringkasan suatu
kitab hadits, seperti Mukhtashar Shahih Muslim, oleh M. Fuad Abd
al-Baqi.
3. Kitab Zawa’id yaitu kitab yang menghimpun hadits-hadits dari
kitab-kitab tertentu yang tidak dimuat oleh kitab tertentu lainnya. Seperti
kitab Zawa’id al-Sunan al-Kubra, oleh Al-Bushiri.
4. Kitab penunjuk (kode indeks) hadits, seperti kitab Miftah Kunuz
al-Sunnah oleh A.j. Wensinck yang diterjemahkan ke dalam bahasa arab oleh
M. Fuad Abd al-Baqi.
5. Kitab Takhrij yaitu kitab yang menjelaskan tempat-tempat
pengambilan hadits-hadits yang dimuat dlam kitab tertentu dan menjelaskan
kualitasnya. Seperti kitab Takhrij Ahadits al-Ihya’ oleh Al-Iraqi.
6. Kitab jami yaitu kitab yang menghimpun hadits-hadits dari
berbagai kitab hadits tertentu. Seperti
kitab Al-Lu’lu’ wa al-Marjan oleh M. Fuad al-Baqi, kitab ini menghimpun
hadits-hadits Bukhari dan Muslim.
7. Kitab yang membahas masalah tertentu, seperti masalah hukum dalam
kitab Bulugh al-Maram min Adillah al-Ahkam oleh Ibn Hajar al-Asqalani[31].
III.
KESIMPULAN
Ilmu hadits ialah ilmu yang
mempelajari cara-cara persambungan hadits sampai kepada Rasul SAW. dari segi
hal ikhwal para perawinya, yang menyangkut ke-dhabit-an dan ke-adil-annya dan
dari bersambung dan terputusnya sanad, dan sebagainya.
Setiap orang yang mempelajari ilmu
hadits ini harus mengetahui bahwasannya semua landasan dan aturan mendasar dari
ilmu riwayat dan penukilan kabar itu sudah termaktub dalam Al-Qur`an dan
sunnah. Di dalam Al-Qur`an Allah Ta’ala berfirman yang artinya:
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä bÎ) óOä.uä!%y` 7,Å$sù :*t6t^Î/ (#þqãY¨t6tGsù br& (#qç7ÅÁè? $JBöqs% 7's#»ygpg¿2 (#qßsÎ6óÁçGsù 4n?tã $tB óOçFù=yèsù tûüÏBÏ»tR ÇÏÈ
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang Fasik
membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan
suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan
kamu menyesal atas perbuatanmu itu”. (QS. Al-Hujuraat:: 6).
Dalam ayat di atas terdapat landasan awal dari kewajiban
meneliti dan memeriksa sebuah kabar sebelum kabar tersebut diterima. Juga
menjadi landasan dalam hal bagaimana cara memeriksanya, memperhatikannya,
menghafalnya, dan berhati-hati dalam menyampaikan kabar tersebut kepada orang
lain. Dan sebagai perwujudan dari perintah Allah dan Rasul-Nya ini, para
sahabat senantiasa melakukan tatsabbut (mengecek kebenaran) dalam
menukil dan menerima sebuah kabar, terlebih lagi jika mereka meragukan
kejujuran orang yang membawa kabar tersebut. Maka dari sisi inilah muncul
pembahasan mengenai sanad sebuah kabar dan bagaimana pentingnya kedudukan sanad
dalam menerima atau menolak suatu kabar.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdat, Abdul Hakim bin Amir, Pengantar Ilmu Mushthalahul Hadits,
(Jakarta: Darul Qolam,2006).
Ismail, M. Syuhudi, Metodologi Penelitian Hadis Nabi,
(Jakarta: PT. Bulan Bintang, 2007).
Karim, Abdullah, Membahas Ilmu-ilmu hadis, (Banjarmasin:
Comdes Kalimantan, 2005).
Khathib, Al-, Muhammad Ajaj, Ushul Al-Hadits, (Jakarta: Gaya
Media Pratama, 2007).
Ranuwijaya, Utang, Ilmu Hadis, (Jakarta: Gaya Media Pratama,
1996).
Saifuddin, Tadwin
Hadis, (Banjarmasin: Antasari Press, 2008)
Shalih, As-,
Subhi, Membahas Ilmu-Ilmu Hadis, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2009).
Shiddieqy, M. Hasbi Ash, Sejarah Perkembangan Hadits,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1988).
Suyadi, M. Agus Solahudin dan Agus, Ulumul Hadits, (Bandung:
Pustaka Setia, 2011).
Soetari,
Endang, Ilmu Hadits, (Bandung: Amal Bakti Press, 1997).
Suparta, Munzier, Ilmu Hadis, (Jakarta: Rajawali Pers,
2010).
Yuslem, Nawir,
Ulumul Hadis, (Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 2001).
http://pagegue.blogspot.com/2012/04. diakses pada tanggal 3 November 2012.